Risalah Redaksi

Memilah antara Kombatan, Perempuan, dan Anak Eks ISIS

Sabtu, 15 Februari 2020 | 03:00 WIB

Memilah antara Kombatan, Perempuan, dan Anak Eks ISIS

Seorang gadis berdiri di paviliun al-Hol di timur laut Suriah, yang dihuni lebih dari 11.000 wanita dan anak-anak dari hampir 50 negara. Mereka dikurung karena merupakan anggota keluarga dari pejuang ISIS. (Foto: HRW.org - Sam Tarling)

Para eks ISIS yang kini hidup di lokasi-lokasi pengungsian menimbulkan pro kontra di negara asalnya, termasuk di Indonesia. Wacana yang mengemuka adalah, apakah mereka layak dipulangkan sebagai konsekuensi kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia atau dibiarkan di lokasi-lokasi pengungsian karena berpotensi menimbulkan masalah di dalam negeri ketika pulang. Untuk itu perlu dilakukan pemilahan antara para kombatan, perempuan yang sekadar ikut keluarga, apalagi anak-anak yang diajak orang tuanya ke mana pun pergi.

 

Presiden Joko Widodo maupun Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sepakat bahwa kombatan ISIS tidak perlu dipulangkan ke Indonesia. Negera ini dianggap oleh pengikut ISIS sebagai kekuasaan taghut sehingga pindah ke teritori ISIS yang mereka gambarkan sebagai kekhalifahan dunia. Sayangnya klaim kehidupan penuh dengan nilai-nilai Islam dikampanyekan ISIS melalui berbagai saluran media sosial ternyata jauh panggang dari api. Yang terjadi malah sebaliknya, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan hal-hal lain yang di luar peri kemanusiaan dan nilai-nilai dasar Islam.

 

Para kombatan adalah kelompok mengambil risiko dibandingkan dengan pengikut atau simpatisan ISIS tetapi tetap tinggal di negaranya masing-masing. Kota Marawi di Filipina Selatan yang sebelumnya tenang, pernah mengalami gejolak ketika eks ISIS mencoba menguasai wilayah tersebut setelah tersingkir dari wilayah kekuasaannya di Irak dan Suriah. Indonesia dapat menjadi ajang teror jika mereka dibiarkan melenggang pulang sebagaimana pengalaman sebelumnya dengan alumni perang Afganistan yang kemudian terrgabung dalam kelompok radikal Jamaah Islamiyah dengan terror Bom Bali.

 

Menolak kembalinya para kombatan bukan berarti melanggar prinsip hak asasi manusia, tetapi justru melindungi hak asasi manusia orang banyak karena adanya ancaman teror yang kapan-kapan bisa muncul. Usulan memulangkan mereka dan memenjarakannya di Indonesia tetap menimbulkan risiko keamanan setelah mereka bebas dari tahanan beberapa tahun kemudian atau mereka membentuk jaringan baru selama di tahanan dengan kelompok radikal lokal atau simpatisan ISIS yang kebetulan tidak berangkat ke Suriah.

 

Hal ini juga terkait dengan tingkat keberhasilan gerakan kontra terorisme dan deradikalisasi. Publik belum memperoleh data kredibel berapa persen napiter yang berubah menjadi moderat, tetap keukeuh dengan ideologi radikalnya atau berada dalam wilayah abu-abu. Perubahan ideologi bukanlah hal yang gampang karena hal tersebut menyangkut nilai yang tertanam secara mendalam dalam pikiran. Bisa-bisa ideologi yang dimiliki semakin tertanam kuat ketika bertemu dengan orang-orang yang sama di dalam penjara. Beberapa napiter terbukti kembali melakukan teror seperti pada Bom Thamrin, Bom Cicendo, dan Bom Samarinda. Napiter rawan kembali melakukan aksi karena mereka kembali ke jaringan lama yang memberikan dukungan moral dan finansial setelah mereka keluar dari penjara.

 

Jika para kombatan tidak perlu dipulangkan, kebijakan berbeda tampaknya harus diperlakukan pada anak-anak dan perempuan yang sesungguhnya korban dari ayahnya yang membawa mereka ke lokasi yang mengerikan. Anak-anak belum tahu banyak tentang ideologi atau segala yang yang membuat dunia ini sedemikian ruwet. Dunia mereka adalah dunia bermain. Masa depan mereka masih sangat panjang. Daerah pengungsian bukanlah lokasi yang tepat untuk tumbuh kembang anak. Tanpa upaya penyelamatan lebih lanjut, secara tidak sadar mereka dapat terpapar dalam jaringan dan ajaran radikalisme dan terorisme yang ada di sekitarnya.

 

Memulangkan mereka ke Indonesia juga harus disertai dengan upaya pendampingan bahwa anak-anak tersebut di kemudian hari tidak terpapar dalam ajaran radikal. Risiko tersebut dapat muncul karena keluarga atau komunitas di mana seseorang hidup. Anak dari ayah atau ibu yang radikal, terdapat kemungkinan tumbuh dari lingkungan yang memiliki pandangan hidup radikal. Untuk itu, perlu dipastikan bahwa jika pulang, mereka mempelajari Islam moderat. Ribuan pesantren NU siap untuk menampung anak-anak tersebut yang jumlahnya hanya ratusan supaya mereka belajar Islam moderat.

 

Sementara itu, seleksi ketat perlu dilakukan terhadap para perempuan yang ikut suaminya pergi ke Suriah, apakah mereka sudah ikut terpapar ideologi radikal atau sekadar ikut-ikutan pergi karena alasan menjaga keutuhan keluarga. Jika terbukti telah berideologi radikal, tentunya tidak layak ikut pulang. Untuk itu, proses seleksi perlu dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan para ahli yang kompeten. Wawancara mendalam, menelusuri aktivitas mereka selama di Suriah, mendatangi keluarga di Indonesia, termasuk mencari kemungkinan kaitannya dengan jejaring kelompok radikal di Indonesia melalui para mantan napiter yang sudah bersedia bekerja sama. Setelah di Indonesia pun, mereka tetap perlu diawasi sampai benar-benar aman dari pengaruh radikalisme.

 

Memberlakukan secara sama rata seluruh eks ISIS yang mana di dalamnya terdapat anak-anak atau perempuan yang sekadar ikut keluarga melanggar rasa kemanusiaan, tetapi memulangkan mereka seluruhnya atas nama hak asasi manusia, dapat mengancam keamanan banyak orang, yang juga hak asasi yang harus dilindungi oleh negara. Mengambil langkah dengan pertimbangan komprehensif melalui pelibatan banyak pihak yang kompeten akan menghasilkan keputusan terbaik. (Achmad Mukafi Niam)