Tokoh

Kiai Dhofir Munawwar, Menantu Andalan Kiai As’ad Syamsul Arifin

Rabu, 15 Mei 2019 | 21:00 WIB

Kiai Maimoen Zubair pernah bercerita, bahwa Kiai Abdul Karim, pendiri dan pengasuh pertama pesantren Lirboyo Kediri, memiliki dua menantu adalan. Pertama, adalah Kiai Marzuqi Dahlan, kedua, adalah Kiai Mahrus Ali. 

Dua menantu keren inilah yang banyak membantu Kiai Abdul Karim mengurusi pesantren Lirboyo. Bukan hanya itu, sepeninggal Mbah Manab, nama lain Kiai Abdul Karim, kedua menantu itu juga yang bahu-bahu membahu meneruskan dan memajukan pesantren Lirboyo. 

Keberadaan menantu bagi seorang kiai yang mengelola pesantren besar cukup fundamental. Karena ia menjadi “tangan kanan” bagi pengasuh. Beban berat sebagai pemimpin pesantren, suluh penerang umat dan segenap aktivitas akan sedikit banyak dibantu oleh kehadiran dan peran seorang menantu. Apalagi menantu tersebut termasuk kategori “menantu andalan”.  

Mungkin itulah yang dirasakan juga oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, pengasuh generasi kedua Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Kiai As’ad di tengah kesibukannya sebagai pemimpin pesantren, tokoh nasional, sesepuh NU dan kiai-nya masyarakat memiliki menantu andalan. Beliau adalah Kiai Dhofir Munawwar. 

Nama Kiai Dhofir Munawwar tidak begitu dikenal publik karena di samping kondisi politik pada waktu yang tidak memungkinkan, ia juga tipikal kiai yang menempuh jalan khumul, menyingkir dari popularitas. 

Seluruh waktunya dihabiskan untuk pesantren dan para santri.Khumul adalah salah satu jalan yang lumrah ditempuh oleh para sufi. Secara sederhana ia dimaknai dengan keterasingan, menyingkir dari hiruk-pikuk duniawi. Ibnu Athaillah al-Sakandari (bisa dibaca al-Iskandari atau al-Iskandarani) dalam al-Hikam berkata:

ادفن وجودك في ارض الخمول فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه 

“Kuburlah dirimu dalam tanah yang tak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak berbuah sempurna” 

Syekh Muhammad Said Ramadan al-Buthi dalam anotasi (syarah) terhadap kitab al-Hikam menyebut bahwa laku khumul ini adalah salah satu kebiasaan nabi Muhammad Saw. Sebelum ia menerima wahyu. Pada waktu itu kebiasaan nabi adalah berkontemplasi di Gua Hira.

Masih menurut al-Buthi, fungsi laku khumul adalah pertama, untuk mematangkan diri baik secara intelektual, spiritual dan emosional. Kedua, ia sebagai salah satu cara untuk menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs). 

Nah Kiai Dhofir menempuh cara ini, ia menepi dari aktivitas selain mengajar para santri. Oleh mertuanya, Kiai As’ad, ia dipasrahi untuk mengajar kitab dan tidak diperkenankan mengurusi yang lain. Bahkan ketika perhelatan Munas NU 1983 dan Muktamar 1984, Kiai Dhofir oleh Kiai As’ad dilarang hadir dalam forum bahtsul masa’il. Kiai As’ad berkata dengan bahasa Madura, “Mon bedhe Syekh Dhofir, kebey apa mabede bahtsul masai’il?”, terjemahnya, “Kalau ada Syekh Dhofir, buat apa masih melaksanakan bahtsul masail?” 

Pernyataan Kiai As’ad di atas menyiratkan bahwa Kiai Dhofir memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa, sehingga untuk memecahkan sebuah masalah tak perlu repot-repot mengadakan bahtsul masai’l. Cukup ditangani oleh seorang Syekh Dhofir. Makna lainnya adalah Kiai As’ad sedang memosisikan agar Kiai Dhofir tetap di jalan khumul, yaitu tidak mencari popularitas dengan beradu dalil dalam forum Bahtsul Masail. 

Kiai As’ad memang lebih sering menyebut nama menantunya itu dengan sebutan “syekh” daripada “Kiai”. Panggilan syekh ini tidak bermakna beliau orang Arab, alih-alih orang Arab, selama menempuh pendidikan, beliau pun tak pernah mencarinya di tanah Arab. Panggilan syekh lebih kepada “pengakuan” Kiai As’ad kepada keilmuan sang menantu. Dan faktanya, dalam beberapa kesempatan, beliau memang mengakui bahwa secara keilmuan Syekh Dhofir lebih alim ketimbang dirinya. 

Secara nasab, Syekh Dhofir masih kerabat Kiai As’ad sendiri. Karena secara silsilah nasab keduanya bertemu di Kiai Ruham. Kiai As’ad ibn Kiai Syamsul Arifin ibn Kiai Ruham. Sementara Kiai Dhofir ibn Kiai Munawwar ibn Kiai Ruham. Dengan demikian, berarti Syekh Dhofir masih sepupu Kiai As’ad Syamsul  Arifin. 

Lahir dari keluarga pesantren, Kiai Dhofir belajar dasar-dasar agama dari orang tuanya. Setelah dirasa cukup, beliau belajar di Pesantren an-Nuqayyah Guluk-guluk Sumenep di bawah asuhan Kiai Abdullah Sajjad. Di pesantren ini beliau mendalami ilmu gramatika bahasa Arab (nahwu-sharaf). Kitab-kitab nahwu dari marhalah ula hingga marhala ulya, beliau libas tuntas di pesantren yang didirikan oleh Kiai Syarqawi ini. 

Nahwu-sharaf menjadi sangat penting dalam membentuk intelektual seseorang. Sebab dengan ilmu itulah ia bisa terkoneksi dengan khazanah islam yang mayoritas berbahasa arab. Menjadi repot kiranya ada seorang mengaku ustaz atau kiai masih bermasalah di ilmu alat dasar, misalnya ia tidak bisa membedakan mashdar dan isim mashdar? apakah lafadz kafara apakah ikut wazan tsulasi mujarrad atau mazid?

Maka memahami nahwu-sharaf adalah langkah pertama dalam karir intelektual seseorang.  Syekh Syarafuddin ibn Yahya, Pengarang Nazam Imrithi, pernah berkata: 

النحو اولى اولا ان يعلما # اذ الكلام دونه لن يفهما

Nahwu adalah ilmu yang harus pertama kali dipelajari
Karena tanpanya perkataan tak dapat dipahami

Selepas dari an-Nuqayyah, Syekh Dhofir melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke pesantren tua yang amat kesohor, Pesantren Sidogiri. Di pesantren inilah ia mulai menyusun, mematangkan dan terus memberi beberapa counter discourse, pandangan ulang terhadap beberapa ilmu yang dipelajari. Jadilah Syekh Dhofir seorang yang alim, mutabahhir, menguasasi beberapa jenis keilmuan seperti fikih, usul fikih, tafsir, hadits tasawuf dan beberapa ilmu yang lain. 

Dengan karir akademik yang cemerlang inilah, konon Syekh Dhofir diamanati untuk menjadi “lurah pondok” Pesantren Sidogiri.  Setelah dari Sidogiri kemudian ayahanda dari Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy ini melanjutkan pendidikan ke Pesantren Lasem di bawah asuhan Kiai Maksum. Di Lasem beliau tidak lama, karena di sana tujuannya adalah tabarrukan, yaitu mondok dalam durasi sebentar yang tujuan utamanya adalah mengharap berkah.

Setelah matang secara keilmuan dan namanya cukup popular, Kiai Dhofir menjadi primadona para kiai. Tidak sedikit dari mereka bertujuan untuk menjadikannya sebagai menantu. Konon, beliau dulu diperebutkan tiga pesantren, salah satunya adalah pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. 

Kiai As’ad dengan “strategi” ulungnya bisa menarik Syekh Dhofir muda ke pangkuan pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, yaitu dengan dengan cara dinikahkan dengan putri pertamanya, Nyai Hj Zainiyah As’ad. Dari pernikahan ini, beliau dikarunia empat buah hati. Nyai Qurratul Faizah, Nyai Umi Hani’, Nyai Uswatun Hasanah dan Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah saat ini. 

Keren bukan ada santri menjadi rebutan untuk dijadikan menantu kiai?

Kehadiran Syekh Dhofir benar-benar membawa iklim yang segar bagi Pesantren Sukorejo. Sejak masa Syekh Dhofir inilah kitab-kitab yang dibaca tidak hanya kitab dasar seperti al-Jurumiyah, Kailani, Safinah dan lain-lain. Tetapi nama-nama kitab besar, marhalah ulya seperti Iqna’ ala halli alfadz al-Syuja’, Fath al-Wahhab, Tafsir Jalalain dan nama kitab yang lain. 

Tidak berhenti di situ, model pembacaan dan penerjemahan kitab yang awalnya menggunakan bahasa madura berubah menjadi bahasa Indonesia. dari eksklusif menjadi inklusif. Dan sampai saat ini di Pesantren Sukorejo cara menerjemahkan kitab kuning menggunakan bahasa Indonesia. 

Dahulu pesantren Sukorejo dikenal dengan pesantren perjuangan. Banyak orang menjadikan Sukorejo sebagai tempat persembunyian. Oleh Belanda Sukorejo disebut dengan “daerah suci” yang tak boleh diganggu. 

Maka Sukorejo menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi. Bukan hanya itu, Sukorejo menjadi tempat untuk mencari dan melatih kekebalan. Namun, semenjak kedatangan Syekh Dhofir inilah lambat laun citra sebagai pesantren keilmuan juga disematkan kepada Sukorejo. 

Tidak hanya melakukan terobosan dalam aspek keilmuan, Syaikh Dhofir juga melakukan terobosan administrasi. Sejak masa beliaulah, para guru mendapatkan honorarium. Sebelum itu, para guru mendapat upah dengan menerima sarung dan makan di dapur pesantren. Bahkan lembaga-lembaga formal seperti SD, SMP dan SMA konon juga idenya bersumber dari beliau. 

Kepada Syekh Dhofir saya mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, beliau adalah sanad keilmuan saya, karena seluruh guru saya pernah berguru dan menyambungkan koneksi keilmuan kepada beliau. Terlebih Syekh Dhofir menjadi salah satu “arsitek intelektual” yang memiliki jasa besar dalam membentuk “bangunan” keilmuan KH Afifuddin Muhajir, guru saya saat ini.

Secara langsung saya memiliki hubungan dengan Syekh Dhofir karena sampai saat ini saya membaca doa (bahasa lainnya amalan) yang salah satu tawassulnya adalah beliau. Konon, manfaat dari doa ini adalah bisa menambah kecerdasan  dan menguatkan hafalan.

Aspek lain yang membuat Syekh Dhofir begitu melekat dalam benak saya adalah soal satu pengetahuan yang saya dapat dari beliau, keterangan ini tidak saya jumpai dalam berbagai literatur keislaman. Keterangan yang dimaksud adalah bahwa apabila dalam karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani ditemukan redaksi “wazadahu al-Syarqawi” “dan menambah siapa al-Syarqawi” maka dimaksud adalah Kiai Syarqawi Guluk-guluk Sumenep bukan Syekh Ahmad Ibn Ibrahim Ibn Abdullah al-Syarqawi, ulama asal mesir yang umumnya dikutip dalam kitab-kitab fikih abad pertengahan. Ilmu ini saya terima dari Dr. Abdul Moqsith Ghazali, beliau dari abahnya, KH Ghazali Ahmadi, beliau dari Syekh Dhofir Munawwar. 

Setelah diteliti kisahnya begini; Syekh Nawawi al-Bantani adalah ulama asli Indonesia yang ada di Mekkah, ia tumbuh dan belajar di sana sampai menjadi ulama terkenal yang memiliki banyak karya. Saking tingginya nilai keulamaan ulama asal Banten ia dianugerahi gelar sayyid ulama al-Hijaz. 

Nah, semasa di Mekkah Syekh Nawawi ini satu angkatan dengan Kiai Syarqawi. Ketika Syekh Nawawi menulis kitab dan kemudian dibaca oleh sahabatnya, Kiai Syarqawi, beliau biasanya memberi catatan tambahan dalam karya Syaikh Nawawi itu. Maka oleh Syekh Nawawi diberi keterangan, “Wazadahu al-Syarqawi, dan menambah siapa sahabat saya, Kiai Syarqawi. 

Sekadar selingan, di samping nama Syaikh Nawawi dalam literatur mazhab syafi’iyah ada juga yang bernama Imam al-Nawawi. Beliau adalah ulama kenamaan mazhab Syafi’iyah yang berasal dari Damaskus Suriah (Syam), penulis beberapa kitab, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Minhaj al-Thalibin, Raudhah al-Thalibin, Riyadl al-Shalihin, Hadis Arbain dan lain sebagainya. Jadi ada Nawawi dalam negeri, ada Nawawi luar negeri.  Yang dimaksud pertama adalah Syekh Nawawi al-Bantani sedangkan nama kedua adalah Imam al-Nawawi al-Damasyqi, keduanya berbeda. 

Syekh Dhofir Munawar mengabdikan seluruh jiwa dan raganya kepada ilmu dan peradaban. Denyut nadinya adalah pendidikan dan keilmuan. Setiap hari kebiasaannya adalah membacakan kitab di hadapan para santri. Ketika bulan ramadhan, beliau istikamah mengisi khataman Tafsir Jalalain. Dari jam 08. 00 WIB hingga waktu asar. 

Pada dini hari Ramadan tanggal 10 tahun 1405 atas 30 Mei 1985, setelah satu tahun Muktamar NU ke 27, Syekh Dhofir menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan seluruh santri, alumni dan seluruh pecintanya. Semua orang merasakan kehilangan dengan sosok yang jasanya begitu besar utamanya bidang keilmuan di Pesantren Sukorejo ini, tak terkecuali Kiai As’ad Syamsul Arifin. 

Konon beliau meneteskan air mata dan mengatakan bahwa separuh ilmunya pergi bersamaan dengan kepergian Syekh Dhofir. Syekh Dhofir Wafat dan pergi namun ide-ide dan pengetahuan yang ia salurkan kepada para santri terus direproduksi kembali.


Ahmad Husain Fahasbu, santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo