Warta

2.700 Episode Sinetron Ditayangkan, 5 Pelanggaran Tiap Episode

Jumat, 7 Desember 2007 | 00:19 WIB

Jakarta, NU Online
Luar biasa. Masyarakat Indonesia benar-benar telah dicekoki tayangan sinetron. Terdapat sebanyak 2.700 episode sinetron ditayangkan oleh 8 stasiun televisi nasional sepanjang tahun 2007. Dalam bulan Maret hingga April 2007 saja, terdapat 569 episode sinetron. Dan, sedikitnya ditemui 5 kali terjadi pelanggaran dalam setiap episodenya.

Demikian dilaporkan Direktur Camelia TV Teguh Imawan saat menjadi narasumber pada sarasehan bertajuk “Menakar Plus Minus Media Massa Indonesia” di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (6/12).<>

Teguh menjelaskan, dari seluruh episode sinetron tersebut, tema seputar kehidupan remaja yang paling banyak mendominasi. Jumlahnya mencapai 940 episode atau 35.0 persen. Sementara, tema bernuansa agama menempati posisi kedua, yakni sebanyak 544 episode atau 20.3 persen.

“Sinetron bertema komedi 388 episode atau 14.4 persen. Tema kekerasan 364 episode atau 13.6 persen. Tema horor sebanyak 261 episode atau 9.7 persen,” terang Teguh di hadapan para peserta sarasehan yang diselenggarakan PBNU itu.

Sementara, jelas Teguh, bentuk pelanggaran yang dimaksud meliputi banyak hal. “Misalkan, ada adegan seorang bapak melecehkan pembantu. Seorang anak memarahi neneknya. Adegan pemerkosaan, kekerasan, dan sebagainya,” paparnya.

Kondisi lebih memprihatinkan lagi, katanya, secara umum, sinetron tersebut ditayangkan pada saat semua orang dari berbagai usia dapat menontonnya, yakni antara pukul 18.00 hingga pukul 22.00.

“Menurut ABG Nielsen (lembaga rating yang beroperasi di Indonesia), jam-jam itu disebut periode emas atau prime time. Anak-anak hingga orang dewasa menonton televisi pada jam-jam itu,” terangnya.

Ade Armando, Pakar komunikasi yang juga mantan Direktur Media Watch dan Consumer Center, berbicara lain. Ia menyoroti makin maraknya tayangan infotainment (informasi hiburan) belakangan ini meski NU pernah mengeluarkan fatwa haram atas tayangan tersebut.

“Prinsipnya, (infotainment) dagangan (baca: bisnis). Membuat tayangan infotainment itu biayanya sangat murah, kemudian dijual ke stasiun televisi dan para pengiklan berdatangan. Satu berita infotainment bisa diputar di empat stasiun televisi setiap harinya. Sangat murah dan efektif, kan,” jelasnya.

Konsumen atau para pemirsa tayangan gosip tersebut, katanya, pada umumnya kaum ibu-ibu rumah tangga. Menurutnya, hal itulah yang memang disasar oleh para pengusaha hiburan televisi karena jelas akan mendatangkan banyak pengiklan.

“Kalau konsumennya bapak-bapak, pasti tidak laku. Kenapa ibu-ibu? Karena para ibu-ibulah nantinya yang akan menentukan kebutuhan keluarga apa saja yang layak dibeli atau dikonsumsi. Kalau bapak-bapak, kan terserah ibu saja,” papar manta Manajer Riset Media Tylor Nelson Sofres itu.

Kondisi tersebut, menurutnya, diperarah oleh ketidaktegasan Komis Penyiaran Indonesia (KPI). Sebagai lembaga yang berwenang mengawasi media massa, KPI sebetulnya memiliki tugas menegur hingga mempertimbangkan atas pencabutan izin sebuah stasiun televisi.

“Namun, saat Menkominfo-nya (menteri komunikasi dan informatika) Pak Sofyan Djalil, dikeluarkan peraturan pemerintah yang intinya menyatakan bahwa wewenang KPI tidak sampai sejauh itu (mempertimbangkan atas pencabutan izin sebuah stasiun televise—red),” jelas Ade. (rif)