Warta

Berharap Rekonsiliasi Berlanjut

Sabtu, 13 Januari 2007 | 02:00 WIB

Surabaya, NU Online
Suasana pernikahan Agus Ahmad Naufal dan Misykidanah Adawiyah di Pesantren Miftahussunnah, Kedungtarukan, Surabaya, Jum’at (12/1) siang, benar-benar luar biasa. Terasa istimewa karena para undangan yang hadir di tempat itu adalah para kiai panutan warga NU.

Di antaranya KH Abdullah Faqih (Langitan), KH Chotib Umar (Jember), KH Nawawi Abdul Jalil (Sidogiri), KH Aziz Masyhuri (Denanyar), DR KH A Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), KH A Sadid Djauhari (Wakil Katib PBNU), KH Masduqi Mahfudz (Rais Syuriah PWNU Jatim), Dr H Ali Maschan Moesa (Ketua PWNU Jatim), dan puluhan kiai yang lain. Suasana terasa layaknya dalam forum jam’iyah NU.

<>

Pernikahan kedua mempelai terasa istimewa karena tuan rumah adalah KH Miftachul Akhyar (Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur). Misykidanah adalah puteri Kiai Miftah, sedangkan Naufal adalah putra KH A Chakim Masduqi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Islah Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah cucu Syeikh Masduqi Lasem yang terkenal alim dan menjadi guru para kiai NU.

Para kiai yang selama ini terkesan berseberangan, bisa membaur layaknya tidak ada masalah. Bahkan bisa bersenda gurau dengan leluasa. Padahal saat itu para tokoh NU dari berbagai “aliran” berkumpul bersama.

Kiai Faqih sempat berjabat tangan dan bersenda gurau dengan Kiai Hasyim Muzadi dan KH A Masduqi Mahfudz. Begitu pula dengan Imam Nahrowi, Ketua DPW PKB Jawa Timur. Bahkan dengan Imam Nahrowi, Kiai Faqih berbincang cukup lama.

Padahal selama ini Kiai Faqih dikenal kurang sejalan dengan PBNU. Sedangkan dalam kancah politik ia selalu diandalkan sebagai pendukung utama PKNU, partai baru pecahan dari PKB.

Dalam "perhelatan" yang digelar Kiai Miftah itu, suasana yang dibangun benar-benar terasa menyejukkan. Tidak muncul atribut masing-masing. Yang terlihat hanyalah sesama warga NU yang ingin bersilaturahmi dengan saudaranya. Tak kurang dari HA Sujono, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur, menyebut acara itu sebagai pintu pembuka kerukunan. “Ya, semacam rekonsiliasi lah,” tuturnya.

Untuk semakin memperkokoh kerukunan dan menambah berkah bagi kedua mempelai, doa dipanjatkan oleh tujuh masyayikh secara bergantian. Mereka adalah KH Aziz Masyhuri (Denanyar), KH Zuhri Zaini (Probolinggo), KH Minanur Rahman (Surabaya), KH Nawawi Abdul Jalil (Sidogiri), KH Abdullah Faqih (Langitan), KH Ahmad Muhammad Al-Hammad (Bungah, Gresik), dan KH Chotib Umar (Jember).

Sedangkan yang bertindak sebagai penerima dari mempelai wanita adalah Ketua Umum PBNU, KH A Hasyim Muzadi.

Dalam sambutannya Kiai Hasyim menuturkan, di antaranya tentang poligami. Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang, itu menuturkan, boleh saja seorang perempuan tidak mau dipoligami, namun tidak boleh menolak hukum poligami yang ada dalam al-Quran.

“Kalau menentang al-Quran, itu berarti mengajak bersaing Malaikat Jibril,” tuturnya disambut tawa hadirin. Doa penutup dipanjatkan oleh KH Mas Mansur dari Pesantren Sidoresmo, Surabaya.

“Kita berharap, semoga pertemuan yang penuh kekeluargaan tadi, bisa menjadi pintu menuju kerukunan yang lebih besar,” HA Sujono berharap. (sbh)