Warta

Chalid Mawardi: Indonesia dalam Hegemoni Imperialis

Jumat, 6 Agustus 2004 | 04:53 WIB

Jakarta, NU Online
Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini baik dalam maupun luar negeri menyentakkan kesadaran masyarakat tentang adanya imperialisme dan kolonialisme yang kembali menjajah dunia. Kesadaran itu mualai muncul di kalangan masyarakat luas, termasuk komentar yang dilontarkan diplomat kawakan Drs. Chalid Mawardi kepada NU Online baru baru ini “Dalam tata hubungan internasional, sekarang ini muncul kembali apa yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai Nekolim (neo lolonialisme dan neo imperialisme),” ulas mantan Dubes RI di Syria itu.

“Sekarang ini, karena lebih halus manifestasinya tetapi lebih kuat cengkeramannya, maka bisa disebut sebagai neo hegemonisme. Dulu imperialisme itu masih terdapat rivalitas antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Setelah perang dingin selesai, hanya ada satu super power, yaitu Amerika. Super power inilah yang selalu memaksakan kehendak, dengan menciptakan doktrin-doktrin baru yang sangat hegemonism.”

<>

Ciri dari neo hegemonisme makin jelas setelah Doktrin Bush dirumuskan pasca terjadinya serangan di New York 11 September 2001. Rumusan ini jelas dengan adanya doktrin preemtive attack. Jadi rumusannya adalah segala sesuatu yang dianggap oleh Amerika membahayakan keamanan nasional, maka Amerika  memiliki otoritas untuk melakukan intervensi, apa itu berupa attack (serbuan) atau apapun yang telah terjadi di berbagai belahan dunia selama ini.

Dengan alasan menghancurkan terorism, Amerika menghancurkan Afganistan, dan dengan alasan yang sama pula ia menghancurkan Irak. Demikian pula alasan tersebut digunakan Amerika ketika ingin menempatkan tentaranya di Selat Malaka. Walaupun Indnesia menentang, Malaysia melawan, tetapi siapa berani mengusik jika dengan alasaan apapun Amerika hadir di kawasan itu, apalagi Singapura sudah membuka tangan.

Dominasi baru dalam bentuk dominasi ekonomi juga akan diterapkan. Di Indonesia dapat dicontohkan dengan adanya masalah Buyat, Freeport, hubungan Indonesia dengan Bank Dunia dan IMF yang mana keduanya memiliki induk yang sama, yaitu Amerika . Jadi kita menjadi subyek dari hegemonism baru itu.

Sebagai mantan salah satu Ketua PBNU Chalid menyaarankan kepada NU terutama dalam Muktamar mendatang agar terus mendesakkan terciptaanya hubungan internasional didasarkan pada mutual benafit (saling menguntungkan) dan mutual understanding (saling mamahami), berdasarkan kaidah-kaidah yang diterima masyarakat internasional, yaitu kaidah-kaidah yang sesuai dengan konvensi PBB. Hubungan yang dilandasi niali kesetaraan dan keadilan.

Usaha untuk melawan hegemoni itu menurut Chalid membutuhkan perjuangan jangka panjang, karena pengaruh imperialis telah masuk ke segala lini, masyarakat perlu disadarkan adanya hegemoni itu, agar bisa melawan ketidakadilan. Jika ini yang ingin kita kembangkan seperti yang dikembangkan pada waktu membentuk PBB yang dulu, akan terjadi hubungan yang saling menguntungkan, menghargai kedaulatan masing-masing negara, ini kan nilai-nilai dasar yang mendasari hubungan internasional, walaupun hanya ada single super power. Tak satupun di jagat ini yang mampu menjadi penyeimbang kekuatan Amerika sekarang ini, Inggris, walaupun besar, ngikut aja. Prancis dan Jerman, besar tidak mungkin mampu menjadi kekuatan penyeimbang. Namun demikian tidak boleh membuat kita putus asa, perlawanan harus tetap dilakukan.

Mengenai adanya isu intervensi asing dalam Pilpres belakangan ini mantan Ketua Komisi I DPR-RI itu menilai bahwa hal itu sulit disangkal kalau dilihat begitu besarnya kehadiran diplomat AS dalam pesta demokrasi ini, dan besarnya dana yang dikucurkan. Dan lebih mencolok lagi menurutnya, kenapa kedatangan Colin Powel ke sini tidak menemui semua kandidat seperti Wiranto, Mega atau Amin, tetapi hanya ketemu SBY. Menurutnya “Perilaku ini mengundang orang untuk membenarkan isu bahwa AS mendukung salah satu kandidat, ini mencampuri urusan dalam negeri” katanya mengakhiri pembicaraan dengan NU Online. (mdz/mkf)