Warta

Identitas Fatayat NU Harus Dijaga

Sabtu, 3 Desember 2005 | 11:22 WIB

Jakarta, NU Online
Pembina Fatayat NU Dr. Sri Mulyati mengharapkan agar identitas atau ciri khas Fatayat NU sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama dengan ajaran ahlusunnah wal jamaahnya tak hilang. Hal tersebut dikemukakannya dalam acara Orientasi Pengurus Pusat Fatayat NU periode 2005-2010 di Jakarta.

Dikatakannya bahwa saat ini terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi saat ini seperti memanfaatkan institusi Fatayat untuk kepentingan politik praktis, program titipan maupun program yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan ummat. ”Fatayat harus tetap membumi, memiliki sense of belonging, sense of responsibility kepada masyarakat,” tandas dosen UIN Syarif Hidayatullah tersebut.

<>

Dari segi pendidikan para pengurusnya, saat ini tingkatnya jauh lebih tinggi daripada pengurus pada periode sebelumnya. Sudah banyak pengurus yang lulus S2 atau bahkan saat ini sedang menempuh strata S3. Namun demikian potensi dari pendidikan yang tinggi tersebut harus dapat digunakan untuk kemajuan organisasi.

Agar bisa semakin berkembang Fatayat harus bisa menggunakan prinsip-prinsip ilmiah seperti obyektif dan kejujuran dalam pengembangan organisasi yang nantinya akan tercermin dengan adanya perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai dengan evaluasi yang sangat penting dalam menjalankan organisasi. ”Kita bisa belajar dan mendapat hikmah dari mana saja, dari kesalahan orang lain, dari proses belajar, termasuk interaksi dengan mitra kerja,” imbuhnya.

Sementara itu Dr. Musdah Mulia yang juga merupakan mantan pengurus Fatayat mengungkapkan bahwa upaya pengembangan Fatayat menghadapi beberapa tantangan kelembagaan. Dengan statusnya sebagai badan otonom yang memiliki struktur organisasi yang gemuk, Fatayat akan kesulitan merespon isu-isu nasional dengan cepat karena harus mempertimbangkan aspirasi dari daerah. Ini berbeda dengan LSM yang bisa dengan cepat merespon satu itu.

Selanjutnya tantangan lainnya adalah sebagai badan otonom NU atau sebagai organisasi wing, maka seluruh gerak dan langkahnya harus seiring dan seirama dengan kebijakan yang ditetapkan oleh NU. Bahkan kebijakan yang dilakukan juga harus mempertimbangkan langkah yang diambil oleh Muslimat NU yang merupakan badan otonom NU yang lebih senior. ”Fatayat seharusnya juga bisa mengkritik NU. Kritik pada diri sendiri juga penting, ini agar membuat orang tersadar,” tandasnya.

Aktifis gerakan keadilan gender tersebut juga mengungkapkan bahwa para kyai NU merupakan orang yang sangat maju fikirannya dalam pemberdayaan perempuan. KH Bisri Samsuri merupakan kyai pertama yang membuka pesantren putri dan KH Wahid Hasyim saat menjadi menteri agama bahkan membuka jurusan syariah bagi perempuan yang memungkinkan mereka menjadi hakim. Sampai saat ini hal tersebut masih belum bisa dilakukan di Timur Tengah, bahkan di Malaysia.(mkf)