Warta

Keberadaan Komisi Yudisial Dibahas di Pesantren Buntet

Jumat, 13 April 2007 | 03:09 WIB

Cirebon, NU Online
Sistem peradilan Indonesia dinilai belum mencerminkan jiwa keadilan. Sementara Komisi Yudisial (KY) sendiri sampai saat ini belum menunjukan performa dalam memberantas mafia peradilan dan membangun citra positif kembaga peradilan. Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh KY.

Hal itu mengemuka dalam acara halaqoh tentang Komisi Yudisial bersama Jaringan Prakarsa Masyarakat Madani (JPMM), bertempat di Auditorium MANU Putra, Buntet Pesantren, Kamis (12/4).

Kegi<>atan yang merupakan rangkaian acara Haul Buntet Pesantren tersebut bertemakan "Peran Serta Pesantren dan Masyarakat dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan Indonesia yang Bermartabat dan Profesional" dengan narasumber Mustafa Abdulah dari KY, H Wawan Arwani dari perwakilan pesantren, Agus Prayoga sebagai praktisi dan Agus Efendi dari akademisi.

Komisi Yudisial (KY), demikian Mustafa Abdulah, lahir pada era reformasi saat amandemen ke III Undang-undang Dasar (UUD) 1945, pada tahun 2001 bersamaan dengan lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi. Tentunya, KY sebagai lembaga negara yang kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD bukan dalam undang-undang. Sehingga kedudukannya sama dengan lembaga negara lain dan tidak ada lagi lembaga tertinggi negara.

"Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan, mengusulkan calon hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Lembaga negara semacan KY ini tidak hanya ada di Indonesia. Dari 197 negara anggota PBB, 43 negara di antaranya memiliki Komisi Yudisial, seperti di Prancis, Afrika Selatan dan Filipina," papar Mustafa Abdulah.

Wawan Arwani mengatakan, belum lama KY terbentuk keberadaan dan kinerjanya sudah dikritik masyarakat. KY dinilai belum menunjukan performa dalam memberantas mafia peradilan dan membangun citra positif kembaga peradilan.

"Saya kira tidak fair kalau melimpahkan semua citra negatif peradilan pada KY. Sebagai lembaga baru, KY tentu mempunyai visi, misi dan program kerja yang terukur dan terarah. Yang mendasar, KY harus lebih banyak memberikan edukasi dan informasi yang memadai mengenai hukum dan lembaga pengadilan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam mengawasi lembaga peradilan," ucapnya.

Agus Efendi menambahkan, dengan adanya KY mestinya bisa terbuka lebar bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sistem peradilan yang terjadi. Masyarakat jangan lagi menutup mata bila terjadi dan mengalami ketidakadilan. Karena sekarang masyarakat bisa melaporkan hakim kepada KY, seperti tidak mengedepankan etika saat persidangan.

Sementara itu Agus Prayoga lebih menyoroti putusan pengadilan selalu bersifat subjektif, karena suatu perkara yang dianggap hakim adil belum tentu adil menurut orang lain. Begitu pula dengan kebenaran menurut hakim belum tentu benar menurut orang lain. Berdasarkan pengalaman, memang banyak bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang hakim.

Praktik kolusi dan korupsi di pengadilan justru didukung dan dibiarkan oleh para pencari keadilan sehingga sampai sekarang masih terus berjalan.

"Bahkan mungkin bentuknya sangat rapih dan sangat sulit untuk dibuktikan, sehingga menghasilkan suatu kejahatan yang sempurna dan susah untuk tersentuh hukum," kata Agus Prayoga.

Wakil Ketua KY Thahir Saimima saat membuka halaqoh mengakui, perjalanan aktivitas peradilan di Indonesia yang berdasarkan teori dikehendaki berjalan secara jujur, adil, bersih, ringkas dan sederhana, ternyata hingga saat ini realitanya tidak demikian.

"Berdasarkan fakta, justru dalam proses peradilan membutuhkan biaya yang mahal dan caranya sangat berbelit-belit. Itu sudah menjadi rahasia umum, apalagi bagi advokat (pengacara, red) yang beracara mendampingi kliennya, tahu persis dengan kondisi tersebut," katanya. (ksd)