Warta

Kebijakan Pendidikan Baru Untungkan Madrasah

Kamis, 19 Oktober 2006 | 05:30 WIB

Jakarta, NU Online
Setelah sebelumnya dianaktirikan dalam sistem pendidikan nasional, kini kebijakan baru mulai memperhatikan keberadaan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Alokasi dana yang diperuntukkan untuk madrasah kini semakin besar, pesantren pun kini mendapatkan anggaran dari APBN.

Meskipun demikian, struktur kelembagaan madrasah masih harus diperbaiki. “Banyak madrasah ketika kita check ke daerah ternyata masih diniyah, struktur pendidikan di pesantren juga masih menyatukan pendidikan tsanawiyah dan aliyah, padahal seharusnya penyatuan ibtidaiyah dan tsanawiyah sebagai pendidikan dasar 9 tahun,” tandas Penasehat LP Maarif NU Abdurrahman dalam acara buka bersama, Rabu.

<>

Dijelaskannya bahwa perkembangan pendidikan agama di Indonesia selalu mengalami dinamika dari waktu ke waktu. Departemen Agama pernah membuat program SGH, PHIN, MAPK, bahkan sempat ada jurusan agama di SMA. Namun program-program tersebut selalu berhenti saat ganti menteri.

Gagal karena Kokus Kuantitas

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Islam Yahya Umar PhD mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia tertinggal jauh dari negara lain seperti Malaysia karena memfokuskan pada kuantitas, bukan kualitas.

“Kalau di Malaysia, mereka memakai standard internasional, kalau umum mengikuti standard Cambridge kalau pendidikan agama mengikuti standard Al Azhar,” tandasnya.

Karena filosofinya mengejar target jumlah peserta didik, akhirnya rentang kelulusan menjadi sangat lebar yang akhirnya merugikan murid sendiri. “Meskipun lulus, tapi kalau tidak bisa apa-apa akhirnya mereka juga teralienasi dalam masyarakat. Ini sebenarnya merugikan dirinya sendiri,” imbuhnya.

Dikatakannya bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah Malaysia mengirimkan guru-gurunya untuk belajar di luar negeri agar mereka bisa mengajar dengan baik. “Saat itulah banyak guru Indonesia yang dikontrak ngajar disana, karena tenaga pengajarnya sedang sekolah, itulah alasan mengapa pemerintah Malaysia mendatangkan guru dari Indonesia,” ungkapnya.

Di Indonesia, sekolah-sekolah swasta yang mengutamakan kualitaslah akhirnya yang membuat lulusannya bisa menguasai sumberdaya yang ada di Indonesia. “Hanya ada sekitar 200 sekolah yang lulusannya menguasai Indonesia, dan kebanyakan merupakan sekolah non muslim,” tambahnya. (mkf)