Warta PENENTUAN AWAL SYAWAL (1)

NU Mengutamakan Ibadah daripada Akal

Selasa, 17 Oktober 2006 | 05:31 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam menentukan awal awal bulan Qamariyah atau Hijriyah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, NU mendasarkan pada ru'yatul hilal bil fi’li atau biasa dikenal dengan rukyah yakni melihat bulan dengan mata kepala, sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW. Adapun hisab atau perhitungan menurut cara ilmu pengetahuan (astronomi) hanya berfungsi sebagai pembantu belaka.

Prinsip NU ini dikenal dengan ta’abbudiy (ibadah atau mengabdi) atau taqdiimut ta’abbud ‘alat-ta’aqqul (mendahulukan ibadah dari akal) atau ikmaalut-ta’abbud bit-ta’aqqul (menyempurnakan ibadah dengan akal).

<>“Ketika Rasulullah memerintahkan untuk mengadakan observasi atau melihat bulan untuk menentukan awal bulan ya kita lakukan dengan maksud ta’abbudy itu. NU tidak berdasarkan hisab, karena tak ada perintahnya secara eksplisit,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghozali Masroeri, di Jakarta, Selasa (17/10).

Bukan berarti tidak menghargai ilmu pengetahuan, prinsip di atas menempatkan ilmu pengetahuan hanya sebagai alat bantu dalam melaksanakan ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT. Dalam penentuan awal bulan Hijriyah, hisab dapat menjadi pemandu umat Islam dalam melakukan rukyah.

“Itu namanya menyempurnakan nilai ibadah dengan menggunakan akal,” kata Kiai Ghozali Masroeri. “Sama saja ketika dalam shalat kita diperintahkan untuk menghadap kiblat, maka umat Islam tidak bisa tidak harus menghadap kiblat. Akan tetapi dalam menyempurnakan arah kiblat sehingga tidak menyimpang satu serajat sekalipun perlu digunakan ilmu hisab.”

Kiai Ghozali Masroeri menambahkan, sikap mengutamakan ibadah itu perlu ditekankan, karena saat ini, katanya, di kalangan anak muda shalat semata-mata didefinisikan sebagai sebuah alat untuk mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ada yang berpendirian bahwa shalat tidak harus memakai cara-cara yang diajarkan Nabi. “Ini namanya mendahulukan akal dari pada ibadah,” katanya.

Akhirnya, Al-Qur’an dan Hadits justru malah dilupakan. Dalam konteks penentuan awal bulan Hijriyah, kata Kiai Ghozali Masroeri, sikap memaksakan hisab sebagai satu-satunya alat untuk menentukan awal bulan dengan tanpa melakukan rukyah sebenarnya telah mengingkari perintah Nabi. (nam)