Warta

Produksi Kedelai Dalam Negeri Turun, Pemerintah Tak Mau Tahu

Selasa, 15 Januari 2008 | 07:20 WIB

Jakarta, NU Online
Kelangkaan kacang kedelai yang mengakibatkan naiknya harga bahan baku tahu dan tempe itu karena turunnya produksi dalam negeri dan naiknya harga di pasar dunia. Namun, selama ini dan hingga sekarang, pemerintah seakan tidak mau tahu atas kondisi tersebut.

Penilaian tersebut diungkapkan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, dalam siaran pers yang diterima NU Online, Selasa (15/1). “Hingga saat ini, harga kedelai ada di kisaran Rp 7.800 per kilogram. Ini merupakan harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir,” pungkasnya.<>

Henry menjelaskan, menurut catatan BPS pada 2006, produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada 2007 turun menjadi 608.263 ton. Sementara, impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Ada banyak penyebab turunnya produksi kedelai nasional di antaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pagan, dan bencana alam. Namun, yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru.

"Saya masih ingat ketika pada 1999, pemerintah, dengan kebijakan pasar bebasnya, mulai membuka kran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Saat itu, pasar nasional dibanjiri kedelai impor. Akibatnya, harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi, kebijakan tersebut membuat petani hengkang dari budidaya kedelai," paparnya.

Menurut Henry, keadaan seperti itu diperparah dengan kebijakan pembangunan pertanian yang keliru. Pemerintah lebih mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas, seperti, kelapa sawit. Di sisi lain, pembangunan tanaman pangan terbengkalai. Sedangkan infrastruktur irigasi tidak dibangun, bahkan yang sudah ada pun tidak dipelihara.
 
"Hingga saat ini janji pemerintah untuk membagi-bagikan lahan kepada petani melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada perwujudannya," tandas Henry.

Atas dasar itu, Henry menyatakan, para petani sudah tidak tertarik lagi menanam kedelai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai dan harga kedelai di pasar tidak bisa menutupi ongkos produksi.

Menyangkut solusi gejolak harga kedelai saat ini, memang harus segera diadakan operasi pasar untuk menurunkan dan menyetabilkan harga. Namun, secara jangka panjang, harus berswasembada kedelai karena kedelai yang ada di pasar dunia tidak akan mencukupi kebutuhan Indonesia jikalau produksi nasional terus turun.

Untuk mencapai swasembada itu, ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah, pertama, segera melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, membangun infrastruktuir di pedesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa bukan hanya jalan tol saja yang dibangun. Ketiga, tegakkan kedaulatan pangan dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.

Henry menilai kenaikan harga kedelai di pasar dunia yang mencapai US$ 600 per ton, diakibatkan orientasi pembangunan yang salah. Isu biofuel yang digembar-gemborkan selama ini telah menyebabkan harga bahan baku seperti kedelai dan CPO meningkat karena permintaan industri pengolahan biofuel terhadap bahan-bahan pangan meningkat.

Sementara itu, di Amerika Serikat (AS) sendiri para petani sudah beralih dari tanaman kedelai ke tanaman pemasok biofuel lainnya. Di AS, pada tahun 2007, terjadi penurunan luas penanaman kedelai dari 75,5 juta acre menjadi 63,7 acre atau turun 15 persen yang menyebabkan produksi kedelai turun sebesar 19 persen. Dan, Indonesia sendiri sangat tergantung pada AS, 70 persen kebutuhan kedelai nasional dipasok dari AS, Argentina dan Cina.

Mengenai kebijakan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai sampai 0 persen pada hari ini, Henry berkeyakinan hal tersebut tidak akan membantu. "Saat ini harga kedelai naik hingga 200 persen lebih, mana mungkin dengan menurunkan tarif impor dari 10 persen menjadi 0 persen bisa efektif menurunkan harga," tandas Henry. (rif)