Warta RAKERNAS LBM

Soroti Hukum Positif dengan Fikih

Selasa, 4 September 2007 | 23:56 WIB

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia tidak akan menuntut penerapan hukum Islam secara legal-formal dalam kebidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa aspek penting dalam hukum Islam (fikih) akan diresapkan dalam tata hukum positif Indonesia.

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (LBM-NU) di di Gedung Dewantoro, Taman Wiladatika Cibubur, Jakarta, hari ini hingga 7 September 2007 akan menyoroti tiga hal yakni rencana amendeman ke-5 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, undang undang anti korupsi dan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Ketiga<> persoalan itu akan dibahas dalam komisi "Bahtsul Masail Diniyah Qonuniyah" sebagai sub dari LBM yang membidangi persoalan hukum posistif di Indonesia.

Ketua Tim Perumus KH Arwani Faishal mengatakan, UUD 1945 yang telah diamandemen selama empat kali masih jauh dari harapandan belum mampu memberikan jawaban dari berbagai persoalan yang muncul.

“UUD 1945 masih merupakan landasan yang rapuh bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Dan sebagai akibat dari prosesnya yang dilakukan tidak partisipatif, hasil perubahan UUD 1945 belum mencerminkan kepentingan seluruh elemen bangsa,” katanya.

Perubahan (amandemen) UUD 1945 harus dilanjutkan kembali untuk memperbaiki dan melengkapi hasil perubahan sebelumnya, namun tidak bisa dilakukan secara parsial, menyangkut kepentingan tertentu saja.

Soal undang undang anti korupsi, bahtsul masail akan membahas maksimalisasi dan penegakaan hukum aturan tentang Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) serta aturan tentang gratifikasi dalam rangka menghalau tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik utamanya para penegak hukum. Juga soal eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terancam, karena batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi hanya sampai tiga tahun sejak diputuskan yaitu Desember 2009.

Sementara itu penuntutan kembali terhadap obligor BLBI juga menjadi agenda penting pembahasan. Perlu ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tuntutan pidana terhadap para pelaku koorupsi. Karenanya tindakan penuntutan kembali terhadap para penerima BLBI merupakan langkah hukum yang perlu dukungan semua pihak.

“Penuntutan hukum terhadap para koruptor khususnya para penerima BLBI dengan orientasi pengembalian aset negara merupakan tindakan yang tepat sekalipun aset itu berada di negara lain,” kata KH Arwani Faishal.(nam)