Warta RAKERNAS LBMNU

Syariah Jangan Hanya Menjadi Tren

Rabu, 5 September 2007 | 18:03 WIB

Jakarta, NU Online
Terma “syariah” jangan hanya menjadi tren yang dimunculkan untuk kepentingan tertentu dengan menjajikan harapan-harapan baru seiring bergulirnya era reformasi. Syariah jangan hanya diteriakkan namun tidak dipertemukan konteknya dalam masyarakat Indonesia.

“Tak perlu terlalu normatif menyebut syariah, yang penting materinya saja,” kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hafidz Utsman saat berbicara dalam sesi kedua seminar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (LBMNU) di Cibubur, Jakarta, Rabu (5/9) sore.

Kehidu<>pan yang sesuai dengan cita-cita syariat Islam menjadi idaman warga NU (Nahdliyyin). “Kita rindu kehidupan yang Islami, akan tetapi penerapannya bagaimana dulu,” kata Kiai Hafidz.

Pakar Hukum tatanegara Prof Mahfudz MD menambahkan, tata hukum di Indonesia telah mengalami islamisasi tanpa menyebut istilah syariah atau Islam.

“Dalam hukum pidana kita dulu, perzinaan hanya dikenakan kepada orang yang sudah bersuami atau beristri, sementara duda, janda, perjaka atau gadis yang melakukan hubungan badan di luar nikah tidak dianggap zina. Namun sekarang hukum kita sudah sesuai dengan nilai-nilai Islam,” katanya mencontohkan.

Ditambahkan Mahfudz, penyusunan hukum nasional berpegang pada prinsip integrasi. Jangan sampai semangat otonomi menyebabkan daerah-daerah di Indonesia membuat peraturan daerah yang mengunggulkan agama tertentu.

“Meskipun di suatu daerah misalnya 90 persennya adalah orang Islam, namun jika perda syariat Islam diberlakukan maka daerah-daerah lain yang mayoritas Hindu atau Kristen akan memnuntut hak yang sama. Ini mengancam integrasi,” kata warga nahdliyyin asal pulau Madura itu.

Ditegaskan, Indonesia tidak berdasar agama tertentu, atau memaksa seseorang menjalankan agama tertentu. Namun negara wajib melindungi dan menjamin keamanan warga negara yang menjalankan ajaran agamanya.(nam)