Warta

Tiga "O" untuk Infotaintment Indonesia

Kamis, 10 Agustus 2006 | 13:12 WIB

Jakarta, NU Online
Pro dan kontra fatwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mengharamkan tayangan infotainment, Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Dr Effendy Ghozali MA angkat bicara. Ia memberikan tiga penilaian tentang karakter infotaintment di Indonesia, yakni over-explosive, over-simplified dan over-claim.

Hal itu dikatakannya saat hadir sebagai salah satu narasumber pada dialog publik bertajuk “Infotaintment; Kezaliman Era Baru?” di gedung Badan Perfilman Nasional, Jalan  MT Haryono, Jakarta Selatan, Kamis (10/8). Selain itu, hadir juga Ketua PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siradj, Budayawan Prof Dr Abdul Hadi WM, Ketua Dewan Pers Hans Miller dan Ketua Seksi Film dan Budaya PWI DKI Jaya Akhlis Suryapati.

<>

Dijelaskan Effendy, over-explosive maksudnya, tayangan infotaintment sudah terlalu banyak, semua stasiun televisi di Indonesia memiliki program acara serupa. Akibat dari hal tersebut, katanya, infotainmen justru menjadi sarana sinisme bukannya menjadi media informasi yang mencerdaskan masyarakat.

Sementara over-simplified, lanjut Effendy, cara kerja para jurnalis infotaintment terlalu mudah menyederhanakan dan menyimpulkan sebuah persoalan. “Ketika seorang artis ditemui sedang berjalan dengan orang lain, langsung saja disimpulkan selingkuh atau sedang ada affair. Intinya mengada-ada,” katanya.

“Ketika seorang narasumber mengatakan tidak mau diwawancarai seharusnya si wartawan balik kanan dan langsung pulang. Tapi ini nggak, malah sampe kemping di depan rumah sang artis, mepet mobil sang artis di jalan tol,” tambah Effendy.

Sedangkan penilain yang ketiga, yakni over-claim, menurutnya media infotaintment selalu mengklaim demi kepentingan publik. Seolah-olah publik harus mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada artis. “Perceraian seorang artis dengan pasangannya diklaim bahwa hal itu sangat dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.

Hingga saat ini, imbuhnya, sasaran dari pada berita infotaintment masih berkisar pada kehidupan pribadi selebritis. Tidak akan lama lagi, katanya, berita-berita infotaintment akan merambah pada profesi yang lain, misalkan saja tokoh politik.

“Kita lihat saja minggu-minggu ini sejumlah infotaintment sedang memberitakan kehidupan pribadi salah seorang tokoh politik dari PAN (Partai Amanat Nasional). Ini artinya, nanti gosip infotaintment itu tidak lagi didominasi selebritis,” terang Effendy.

Sementara itu, KH Said Aqil Siradj kembali menegaskan, fatwa hukum haram tayangan yang banyak diminati kalangan ibu-ibu dan remaja putri itu karena dasarnya sudah jelas. Para ulama NU yang membahas hal tersebut satu pendapat mengatakan bahwa isi dari tayangan itu adalah haram.

“Membuka, mempergunjingkan keburukan orang disebut ghibah. Semua kiai tidak ada yang berbeda pendapat bahwa ghibah itu hukumnya haram ‘absolut’. Dasarnya jelas, bukan dari ijma atau qiyas, tapi langsung dari hadis,” terang Kang Said, demikian panggilan akrabnya.

Ditambahkan Kang Said, fatwa haram PBNU yang dihasilkan dari proses Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya akhir Juli lalu itu merupakan cara NU dalam mengajak umat pada kebaikan dan meninggalkan keburukan. “Ini cara kita (NU, red) ber-amar ma’ruf nahi munkar. Mau diikuti silakan, nggak mau ya nggak apa-apa,” tandasnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, ia menjamin fatwa tersebut tidak akan diikuti dengan aksi sweeping terhadap orang-orang yang tidak mengikuti keputusan PBNU itu. “Jangan khawatir, saya menjamin PBNU tidak akan menurunkan banser untuk melakukan sweeping. Kalau ada, saya tegaskan, itu pasti bukan dari PBNU,” ungkapnya.

Berbeda dengan keduanya, Abdul Hadi WM mengatakan, tayangan infotaintment yang kebanyakan berisi gosip dan membuka aib orang lain itu merupakan upaya dari pendangkalan budaya bangsa. “(infotaintment, red) itu pendangkalan budaya, demoralisasi tidak ada nilai yang terkandung di dalamnya,” tegasnya. (rif)