Internasional

Merintis Jalan Dakwah di Negeri Ginseng

Senin, 13 Mei 2019 | 23:00 WIB

Doa dan ikhtiar ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Doa dan restu yang tulus dari orang tua, guru dan sanak keluarga serta kesungguhan yang kuat sebagai senjata ampuh dalam meniti jalan merintis dakwah dan menebarkan islam yang ramah di Negeri Ginseng, Korea Selatan.

Sungguh anugrah yang amat besar bagi saya, yang berasal dari kampung bahkan pedalaman desa di Kecamatan Sereseh Sampang, Madura, tepatnya Desa Disanah, dapat berkunjung, bersilaturrahmi dan berbagi pengetahuan dengan warga negara Indonesia di Korea, yang sehari-harinya sebagai TKI.
 
Perjalanan ke Negeri Ginseng ini atas undangan dari Persatuan Keluarga Nahdlatul Ulama di Korea Selatan (yang kemudian hari menjadi PCINU Korea Selatan), bekerjasama dengan PP LAZISNU yang kala itu diketuai KH Masyhuri Malik, dan Masjid Sayyidina Bilal Changwoen untuk kegiatan keagamaan selama Ramadhan dan Idul Fitri 1436.
 
Undangan ini merupakan pertama dan sebagai perintis jalan dakwah di Negeri Ginseng dari kalangan Nahdliyin, yang kemudian menjadi salah satu agenda tahunan bagi PCINU Korsel untuk mendatangkan da' muda dari kalangan Nahdliyin berikutnya.

Perjalanan saya menuju Korea Selatan saat itu melalui penerbangan rute Jakarta Soekarno Hatta International Airport menuju Busan Airport, transit di Kuala Lumpur Malaysia. Perjalanan udara ini menggunakan pesawat Air Asia menuju Kuala Lumpur Malaysia, Kamis 25 Mei 2013.

Sebelum bertolak ke Bandara Soekarno Hatta, saya berkunjung terlebih dahulu ke PBNU untuk sowan ke Ketua Umum PBNU, namun saat itu beliau sedang udzur, kemudian menuju ke Kantor LAZISNU untuk minta pengarahan tentang pengelolaan infak, sedekah, dan zakat. Tiga jam di kantor kebanggaan Nahdliyin ini, saya kemudian meluncur ke kantor pribadi KH As’ad Said Ali yang kala itu Wakil Ketua Umum sekaligus Wakil Badan Intelijen Negara (BIN).

Kunjungan saya ke sana, diantar oleh Bapak Abdurrahman, staff LAZISNU NU untuk dipertemukan dengan Mr Hong, yang bertindak sebagai bidang administrasi pengurusan visa. Kami berempat, KH As’ad, KH Masyhuri, Mr. Hong dan saya secara tertutup membicarakan tentang prinsip dasar dakwah ala NU yang ramah, penuh kesantunan, menjunjung tinggi persaudaraan dan toleran, petuah-petuah mereka yang disampaikan kepada saya adalah; sampaikan ilmu itu dengan ramah, santun dan toleran sebagai identitas NU.

Sesampai di Bandara Busan Airport, jam menunjukkan pukul 09.12 waktu setempat. Setalah melakukan antrean panjang di imigrasi bandara Busan, akhirnya saya dibawa ke kantor khusus untuk dimintai keterangan perihal kunjungan saya ke Korea. Saya diintrogasi dari pihak imigrasi Korea selama empat jam, bahkan nyaris dipulangkan kembali ke Indonesia.

Saat itu, saya diteror berbagai pertanyaan 'sinis' dari pihak imigrasi, mulai dari tempat tinggal selama di Korea, tujuan ke Korea, dan penanggungjawab di Korea. Bahkan tidak luput dari pantauan mereka adalah isi koper dan tas saya, yang sebagiannya berisi buku-buku berbahasa Arab. Secara halus mereka meminta saya untuk membuka isi koper dan tas yang saya bawa. Melihat isi koper yang saya bawa, kecurigaan mereka semakin tinggi karena maraknya berita tentang teroris yang berlabel Islam. 

Selama empat jam diinterogasi, ada satu pertanyaan yang paling menggelikan bagi saya, yaitu saat pihak imigrasi membuka layar komputer menunjukkan foto-foto yang bernama Eko Widyanto yang berjumlah puluhan. Mereka meminta saya untuk menunjukkan satu diantara foto itu yang menjadi pananggungjawab kedatangan saya ke Korea. Sebelum menunjukkan salah satu dari puluhan foto di layar komputer, terlebih dahulu saya membaca bismillah dan shalawat, sambil menutup mata saya tunjuk foto di layar komputer. Alhasil, foto yang saya tunjuk adalah laki-laki gondrong kekar, tidak seperti mas Eko Widyanto sebenarnya yang kurus dan berpenampilan Jawa tulen. 

Selama proses administrasi keberangkatan ke Korea, antara saya dan mas Eko Widyanto, ketua PCINU Korsel saat itu, tidak saling kenal dan bertatap muka walau di dunia maya. Kami hanya mengenal suara melalui telepon seluler dan berinteraksi melalui jejaring email.

Waktu menunjukkan pukul 12.10 waktu Korea. Akhirnya saya dikeluarkan dari kantor imigrasi yang 'menyeramkan' itu. Secara psikologis, batin saya sudah lemas, kosong dan pasrah. Sebab dari awal perjalanan, dari kampung menuju PBNU hanya seorang diri bahkan hingga sampai ke negaranya Kim Jong Un.

Setelah keluar dari bandara Busan, saya disambut oleh pihak jamaah Masjid Sayyidina Bilal kemudian melanjutkan perjalanan ke Changwoen. Kami tiba di sana tepat setelah Jumatan.

Sabtu pagi, 27 Mei 2013, kami memulai mengunjungi mushalla dan masjid yang ada di Korea Selatan dengan diantar oleh Ketua PCINU saat itu, yaitu Mas Eko Widyanto. Masjid pertama yang saya kunjungi adalah Masjid Al-Mujahidin Incheon-Namdoeng. Jarak tempuh dari Changwoen ke Inchoen kurang lebih lima jam perjalanan darat. Perjalanan ini menyenangkan, sebab bus yang kami naiki melewati jalur tol, pemandangan Korea tampak indah nan asri. Akurasi waktu keberangkatan dan kedatangan bus-bus antarwilayah ini sangat akurat. Untuk menaiki bus ini harus berpacu dengan waktu, karena keberangkatannya hanya satu jam sekali. Terlambat sedikit walau satu menit akan tetap ditinggal. 

Kegiatan saya di masjid ini adalah mengimami shalat tarawih dan mengisi pengajian setelah shalat lima waktu. Selain mengisi pengajian, saya membuka maqra’ah pembelajaran bacaan Al-Qur’an yang baik dan benar. Antusias jamaah saat itu sangat tinggi, mengingat ini merupakan awal ada kunjungan dari dai yang mengisi hari-hari mereka dengan keagamaan dan pengajian. Tidak soal keagamaan saja, bahkan yang lebih menggembirakan ketika ada sebagian jomblo yang curhat dan meminta petunjuk soal perjodohan. Tentu saja saya tidak bisa menjawab dan tidak mampu memberi arahan, sebab saat itu saya sendiri jomblo. Hehehehe….

Setelah dua hari di Masjid Al-Mujahidin Incheon, rute kunjungan saya ke mushala atau masjid yang paling dekat dengan Inchoen, yaitu Masjid Nur Hidayah Ansoeng.

Perjalaanan kunjungan kali ini saya ditemani oleh Mas Bidi Haryanto, laki-laki ganteng, gagah bak artis. Mas Budi, pada bulan puasa kali ini meliburkan diri tidak bekerja karena fokus beribadah dan mengabdi untuk umat secara umum dan NU secara khusus. Mas Budi menawarkan diri menjadi Guide atau asisten perjalanan saya mulai dari ujung Busan ke Ujung Seoul.

Ada banyak cerita di setiap kunjungan saya ke berbagai masjid dan mushala di Korea bersama Mas Budi, semua cerita itu bermuara pada satu kesimpulan, yaitu senang-menyenangkan dan kadang menggelikan. 

Bersambung.

13 Mei 2019, Masjid Al-Ikhlas, Uijeongbu, Korea Selatan.

Moh Fathurrozi; Dai Ambassador PCINU Korea Selatan.


Terkait