Nasional

Guru Besar Ushul Fiqih UIN Raden Intan Ungkap Nilai-Nilai Pancasila dalam Tahlilan 

Sabtu, 17 Mei 2025 | 21:24 WIB

Guru Besar Ushul Fiqih UIN Raden Intan Ungkap Nilai-Nilai Pancasila dalam Tahlilan 

Guru Besar Ushul Fiqih UIN Raden Intan Lampung Prof. Muhammad Mukri (Foto: Muhammad Faizin/NU Online)

Tanggamus, NU Online 
Guru Besar Ushul Fiqih UIN Raden Intan Lampung mengungkapkan tentang nilai-nilai Pancasil di dalam tradisi tahlilan yang masih berkembang luas di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah.


“Tahlilan adalah perwujudan nyata dari nilai-nilai luhur Pancasila,” ungkap Ketua PBNU ini di sela-sela pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Tanggamus, Lampung di kantor PCNU Tanggamus, Sabtu (17/05/2025).


Ia menjelaskan bahwa kelima sila Pancasila tercermin secara utuh dalam praktik tahlilan. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tercermin dari bacaan surat Al-Ikhlas dalam tahlilan yang menegaskan keesaan Allah SWT. 


“Bukan tahlilan kalau tidak baca Surat Al Ikhlas. Tahlilan bukan hanya ritual, tapi penguatan tauhid dan pengamalan iman,” katanya.


Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tampak dari keikhlasan para jamaah memenuhi undangan tahlilan tanpa memandang status sosial, kaya atau miskin. Semua duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam tahlilan. Inilah yang menurutnya wujud solidaritas dan nilai kemanusiaan yang tinggi.


Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menurut Prof. Mukri, terlihat dari kebersamaan yang terbangun dalam forum tahlilan. Mulai dari berangkat bersama, duduk berdampingan, hingga pulang bersama, semua aktivitas tahlilan menunjukkan rasa persatuan yang kuat di antara jamaah.


Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, juga melekat erat dalam tradisi tahlilan. Forum tahlilan menjadi ruang musyawarah antarwarga.


“Permasalahan sosial sering diselesaikan secara mufakat dalam forum ini. Pemimpin tahlilan juga menjadi simbol dari kepemimpinan yang arif dan bijaksana,” jelasnya.


Konsep perwakilan juga terlihat dari siapa yang hadir. Biasanya perwakilan dari setiap keluarga—sering kepala keluarga—menghadiri tahlilan. Ini mencerminkan nilai keterwakilan secara sosial dalam masyarakat.


Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, diwujudkan dalam praktik pembagian berkat secara adil kepada seluruh jamaah tanpa diskriminasi. “Baik pemimpin maupun yang dipimpin, semua mendapat bagian sama. Ini bentuk nyata dari keadilan sosial,” imbuhnya.


Lebih jauh, Prof. Mukri menekankan bahwa tahlilan merupakan bagian dari peradaban Islam Nusantara yang harus dirawat dan dilestarikan. Ia menyebutkan berbagai simbol peradaban yang lahir dari tradisi NU, seperti sarung, peci, dan budaya kolektif lainnya.


“Merawat tradisi sambil merespons modernisasi adalah kunci keberhasilan. NU terus berinovasi, termasuk dalam tata kelola organisasi melalui teknologi. Salah satunya adalah program DIGDAYA, singkatan dari Digitalisasi Data dan Pelayanan,” paparnya.


Prof. Mukri pun mengajak seluruh elemen bangsa untuk mempertahankan tradisi yang baik dan terbuka terhadap perubahan yang positif. 


“Siapa yang responsif terhadap perubahan, dia akan sukses. Tapi jangan sampai meninggalkan akar tradisi yang telah membentuk karakter kebangsaan kita,” pungkasnya.