Nasional

Wahid Foundation Rilis Temuan Pelanggaran Kemerdekaan Beragama Sepanjang 2018

Kamis, 5 September 2019 | 08:30 WIB

Wahid Foundation Rilis Temuan Pelanggaran Kemerdekaan Beragama Sepanjang 2018

Direktur Utama Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid, mengatakan ada sejumlah temuan penting –terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan- yang ditemukan sepanjang 2018. (A Rahman Ahdori/NU Online)

Jakarta, NU Online
Wahid Foundation merilis temuan pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia sepanjang 2018. Direktur Utama Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid, mengatakan, ada sejumlah temuan penting –terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan- yang ditemukan sepanjang 2018. 
 
Pertama, naiknya pelanggaran KBB meski pun turun dari jumlah peristiwa. Dalam kurun waktu 2018, terjadi tindakan pelanggaran sebanyak 276 tindakan. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan 2017, yang hanya mencapai 265 tindakan. Sementara dari segi peristiwa, sepanjang 2018 ditemukan 192 peristiwa, jumlah itu lebih rendah dari tahun sebelumnya dengan 213 peristiwa.
 
Adanya perbedaan jumlah peristiwa dari tindakan tersebut dikarenakan dari satu peristiwa kerap terjadi beberapa tindakan. Kedua, aktor non-negara masih mendominasi pelaku pelanggaran. Selama 2018, ada 130 pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara dan 146 dilakukan aktor non-negara. 
 
“Aktor negara paling banyak melanggar dan paling banyak juga melakukan kebaikan itu dilakukan kepolisian, pemda kabupten atau kota. Forum lintas agama, LSM, dan FKUB,” kata Yenny dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2018 di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (5/9).
 
Ketiga, menguatnya kebijakan-kebijakan daerah bernuansa agama tertentu. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk tindakan pelanggaran KBB karena menggunakan kekuasaan negara untuk memaksa sekelompok orang melaksanakan pentaatan ritual agama tertentu. 
 
“Sepanjang tahun 2018 ini ada 22 regulasi yang melanggar KBB misalnya surat edaran pemerintah daerah (pemda) mengenai keharusan shalat berjamaah. Jadi agama masuk ke ranah publik. Ini ruang publik tidak boleh. Dalam Islam saja shalat berjamaah itu sunah bukan wajib. Ini sudah betul-betul mengambil peran agama jauh dilampaui karena dimasukkan ke hukum positif,” jelasnya. 
 
Regulasi lain di Aceh misalnya, telah dilakukan edaran dari pemda untuk pramugari agar menggunakan busana tertentu. Bagi Yenny, meski berbentuk edaran namun jika dikeluarkan institusi berwenang maka akan berpotensi diskriminasi. 
 
Keempat, turunnya bentuk pelanggaran politisasi agama. Pada 2018, Wahid Foundation menemukan tujuh peristiwa pelanggaran KBB yang masuk kategori politisasi agama. Jumlah tersebut turun drastis dibanding 2017 yang mencapai 26 peristiwa. Hal itu dilatar belakangi adanya perhelatan politik yang melahirkan pembelahan politik dan ideologi sensitif seperti Pilkada DKI Jakarta. 
 
(Kelima) Selanjutnya masih belum selesainya masalah pelanggaran KBB yang diwarisi tahun sebelumnya. Misalnya kasus yang dialami komunitas Syiah di Sampang, yang masih diungsikan di Rusun Puspa Agro, Sidorjo. Kasus Gereja GKI Yasmin Bogor, kasus HKBP Filadelfia di Kabupten Bekasi dan penyegelan milik jamaah Ahmadiyah Indonesia di Depok,” ucapnya. 
 
Keenam, DKI Jakarta dan Jawa Barat masih menjadi wilayah yang paling banyak ditemukan pelanggaran KKB. Dari 26 wilayah yang terekam peristiwa pelanggaran banyak terjadi di DKI yaitu 32 peristiwa, disusul Jawa Barat 26 peristiwa, Jawa Timur 17 peristiwa, dan Banten 16 peristiwa. 
 
Selain potret pelanggaran, Wahid Foundation menemukan praktik-praktik baik yang mempromosikan dan mempraktikkan toleransi atau kegiatan mencegah konflik berdasarkan agama atau keyakinannya. Selama 2018, praktik baik mengalami kenaikan siginifikan dibanding 2017. 
 
“Pada tahun 2017 (terjadi) praktik baik 410 tindakan sedangkan 2018 terjadi 995 tindakan, mengalami kenaikan lebih dari 100 persen,” ucapnya. 
 
Yenny menambahkan, pihaknya menyadari masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Untuk itu, ia mengajak kepada seluruh elemen untuk melakukan langkah-langkah yang serius dan tepat. Oleh karena itu, pihaknya menyajikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, DPR, dan Komisi Yudisial. 
 
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, menjelaskan, laporan ini menggunakan metode berbasis peristiwa dan pendekatan model event based methodology. Pemantauan dilakukan terhadap pemberitaan media cetak nasional dan daerah juga media elektronik nasional dan daerah. 
 
“Kemudian data yang diperoleh atas informasi yang diberikan jaringan Wahid Foundation dan ahli yang selama ini concern pada isu KBB,” tandasnya. 
 
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Muchlishon
 


Terkait