Opini

Matinya Keulamaan

Rabu, 21 Agustus 2019 | 06:45 WIB

Oleh Ahmad Zainul Hamdi

Belum pernah sebelumnya istilah ‘ulama’ sedemikian peliknya. Selama ini, istilah ‘ulama’ diterima dan dipakai begitu saja karena diasumsikan maknanya telah baku dan semua penggunanya bersepakat dengan makna itu. Namun kini, tiba-tiba istilah ‘ulama’ begitu membingungkan. Jika istilah ‘ulama’ adalah sebuah penanda (signifier), petandanya (signified) tiba-tiba tidak semudah yang dibayangkan.

Saat ini, tiba-tiba siapa saja bisa menjadi atau tidak menjadi ulama. Dalam situasi seperti ini, siapa ulama menjadi tak jelas. Seseorang yang selama ini diakui sebagai seorang ulama berdasarkan keterpenuhan syarat-syarat tradisionalnya—putra kiai, kedalaman ilmu agamanya, pengakuan sosial—bisatiba-tiba dibreidel status keulamaannya hanya karena, misalnya, tidak sekubu dalam politik. Sementara itu, orang yang selama ini sama sekali bukan siapa-siapa tiba-tiba didaulat menjadi ulama dan dielu-elukan karena berada dalam kelompok politik yang sama.

Tahun 2017, berangkat dari keprihatinannya atas delegitimasi kepakaran di ruang publik akibat liarnya informasi di era digital, Tom Nichols, seorang pakar di bidang social science dan public policy, menerbitkan buku berjudul The Death of Expertise (matinya kepakaran). Dalam bahasa agama, ‘expertise’ di sini bisa diartikan sebagai ‘keulamaan’. Judul di atas jelas terinspirasi langsung dari buku Nichols tersebut.

Istilah ‘ulama’ sesungguhnya bentuk plural dari ‘alim, yang artinya orang yang berilmu atau pakar. Sekalipun beberapa ahli menyebut bahwa kualifikasi seorang ulama tidak hanya kepakarannya dalam ilmu agama tapi juga ketaqwaannya kepada Tuhan, namun bentuk generik dari istilah ‘alim atau ‘ulama’ merujuk pada kepakaran dalam bidang ilmu.  Dalam penggunaan sehari-hari, istilah ‘ulama’ diperlakukan sebagai bentuk tunggal, dan diartikan sebagai tokoh agama Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman. Sementara itu, istilah ‘alim’ sendiri lebih dibebani dengan konotasi kesalehan.

Hingga kini, buku Nichols tersebut menjadi perbincangan global karena dianggap mampu menarasikan secara tepat fenomena hancurnya kepakaran sebagai akibat dari revolusi teknologi informasi yang memungkinkan siapa saja menyebarkan pendapatnya. Dalam situasi seperti ini, pendapat seorang pakarberjajar di rak informasi yang sama dengan hoaks yang disebar para buzzer-petualang. Opini seorang pakar tidak hanya dianggap tidak lagi otoritatif, bahkan bisa diolok sebagai penipuan elit. Teori bumi datar dan penolakan vaksin adalah contoh konkret dari fenomena matinya kepakaran ini, yaitu ketika pendapat ahli dianggap sebagai kebohongan yang diperolokkan dan teori konspirasi dipeluk sebagai kebenaran.

Di Indonesia saat ini, kita tengah menyaksikan apa yang disebut dengan ‘matinya keulamaan’ dalam bidang agama. Matinya keulamaan merujuk pada situasi di mana kompetensi keulamaan tidak lagi bernilai apa-apa karena semua orang, hanya karena berani berbicara agama,mendaulat dirinya, atau didaulat,sebagai ulama. Tidak ada lagi batas orang alim dan awam, ustadz dan murid, kiai dan santri. Seakan, semua orang hanya karena memiliki hak berpendapat dan bersuara dalam masalah agama memiliki bobot kesahihan yang sama dengan ulama atau ahli agama. Atau, tiba-tiba seseorang disebut sebagai ulama sekalipun sama sekali tidak memiliki kualifikasi apapun kecuali penampilan fisik dan keberanian berbicara tentang agama di ruang publik.

Membicarakan keulamaan atau kompetensi seorang ulama sama sekali tidak berarti menolak kebebasan dalam berpendapat atau mengakses informasi dalam persoalan agama. Akan tetapi, kebebasan berpendapat dalam bidang agama sepenuhnya berbeda dengan kompetensi dalam bidang agama.

Memang benar bahwa seorang ulama atau pakar dalam bidang agama bisa saja keliru. Ini bukan sesuatu yang aneh dalam dunia ilmu pengetahuan. Tidak satu pun ilmuanyang mengklaim bahwa kebenaran ilmu bersifat mutlak. Begitu juga para ulama. Misalnya, Imam Syafi’i, seorang ahli hukum Islam dan pendiri fiqih mazhab Syafi’i pernah menyatakan, “Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah; dan pendapat selainku itu salah, tapi bisa jadi benar”. Pandangan Imam Syafi’i ini adalah pengakuan bahwa kebenaran ilmu, termasuk ilmu agama, tetaplah bersifat nisbi. Karena itu, Imam Syafi’i tidak segan merevisi pendapat hukumnya sendiri setelah dia menginsafi adanya konteks yang berbeda.

Sekalipun demikian, kesalahan dalam sebuah bidang ilmu sepenuhnya berbeda dengan kebodohan. Seorang insinyur yang salah melakukan perhitungan dalam menentukan konstruksi sebuah bangunan tidak berarti menjadikannya sebagai orang yang kehilangan kualifikasi keinsinyurannya. Kesalahan dalam bidang ilmu membuka ruang dialog ilmiah antar-sesama ilmuan, karena itulah ilmu berkembang. Kesalahan yang melekat pada orang awam yang tidak mengerti apapun tentang suatu bidang ilmu tidak akan melahirkan perbaikan ilmiah, kecuali debat kusir di antara mereka. Adalah menggelikan bahwa hanya karena kebenaran ilmu bersifat relatif lalu semua orang bisa dianggap sebagai ilmuan. Jika ini yang dilakukan, tidak pernah ada institusi pendidikan tempat di mana seseorang menuntut ilmu untuk memiliki kepakaran dalam bidang tertentu.

Memang, semua orang berhak berpartisipasi dalam dialog di ruang publik. Tapi, diskusi ilmiah selalu memiliki batas-batas areanya. Hal ini bukan karena ada elitisme kelompok ilmuan, tapi lebih karena setiap bidang ilmu mempersyaratkan pengetahuan dan keahlian bagi siapapun agar bisa berbicara di dalamnya. Aturan main ini berlaku pada semua bidang ilmu, mulai persoalan mesin motor hingga masalah agama. Ini menyangkut tentang kompetensi. Sama seperti tidak setiap orang yang berbicara tentang sebuah kasus hukummesti memiliki kualifikasi untuk menjadi seorang pengacara atau jaksa atau hakim.

Ketika keulamaan dibununh, setiap orang akan merasa dirinya sebagai ulama. Jika situasi ini dianggap memperihatinkan, ada yang lebih membahayakan, yaitu saat publik menghina kompetensi keulamaan dan memegangi pendapat orang-orang yang sebetulnya sama sekali tidak memiliki kompetensi di bidang ilmu agama. Seperti keyakinan terhadap bumi datar dan penolakan atas vaksin yang menjadi penanda dari matinya kepakaran di bidang sains, matinya keulamaan membawa umat pada pembenaran terhadap pendapat-pendapat kegamaan receh yang keluar dari mulut orang-orang yang sama sekali bukan pakar di bidang ilmu agama. Di era matinya keulamaan, ceramah orang yang hanya tahu memaki orang bisa menjadi panutan dalam berakhlak dibanding nasehat seorang kiai yang menguasai hikmah tasawuf Islam.
 

Penulis adalah Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya