Opini

NU Online, Generasi Baru, dan Tantangan Digitalisasi Nahdlatul Ulama

Sabtu, 12 Juli 2025 | 10:41 WIB

NU Online, Generasi Baru, dan Tantangan Digitalisasi Nahdlatul Ulama

Logo harlah ke-22 NU Online (Foto: NU Online)

Perkembangan teknologi digital di Indonesia telah mengubah hampir semua wajah kehidupan modern secara drastis. Tidak terkecuali dalam ranah keagamaan, di mana cara orang belajar, memahami, dan menjalankan agama mengalami pergeseran, mereka mulai menjadikan media digital sebagai salah satu rujukan utama. 


Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, turut merasakan dampaknya. Di tengah perubahan ini, NU Online, yang hadir sejak 2003, menjadi salah satu pionir digitalisasi dakwah dan informasi Islam ala Aswaja an-Nahdliyah.


Selama lebih dari dua dekade, NU Online memainkan peran penting sebagai kanal informasi yang menyuarakan nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama. Dari sekedar portal berita hingga sekarang memiliki SuperApp NU Online, ia menjadi jembatan antara tradisi pesantren dengan kebutuhan zaman yang terus berubah. 


Namun, ada dua perubahan yang kini harus dihadapi oleh NU Online, yakni perubahan pola konsumsi informasi di era digital dan tumbuhnya generasi baru NU yang lahir dan besar di tengah perkembangan teknologi yang semakin cepat.


Data terbaru dari Alvara Research Center (2024) menunjukkan bahwa Generasi Z adalah pengguna internet paling intensif, dengan tingkat penetrasi hingga 98,6 persen. Generasi ini menghabiskan lebih dari tujuh jam sehari untuk berselancar di dunia maya. Mereka sangat aktif di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube—yang semuanya mengandalkan konten visual cepat, ringkas, dan menarik. 


Di sisi lain, Alvara di survei yang sama juga menemukan bahwa 34.1 persen Gen Z Indonesia tidak merasa terikat dengan organisasi kemasyarakatan keagamaan mana pun, termasuk NU. Ini bukan berarti mereka tidak religius. Justru sebaliknya, generasi ini sangat tertarik pada isu keagamaan dan spiritualitas, tetapi ingin pendekatan yang lebih cair, relevan, dan kontekstual. Mereka mencari makna keagamaan yang bisa berbicara pada realitas hidup mereka—soal relasi, kesehatan mental, karier, lingkungan—bukan sekadar doktrin.


NU Online sebenarnya punya peluang besar di tengah perubahan ini. Survei Alvara mencatat bahwa publik masih menganggap NU Online sebagai salah satu sumber informasi keagamaan yang paling banyak diakses masyarakat Muslim Indonesia, NU Online selalu masuk 5 besar situs media keislaman yang paling banyak diakses. Di tengah kekacauan digital yang penuh dengan disinformasi, fake news, dan penceramah instan, NU Online tampil sebagai media yang yang bisa diandalkan dengan berita-berita dan informasi keislaman yang kredibel.


Akan tetapi, kredibilitas saja di zaman ini tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan inovasi dan adaptasi terhadap perubahan yang sedang terjadi. Yang dibutuhkan NU Online hari ini bukan sekadar migrasi dan hadir di media sosial, melainkan transformasi paradigma dan cara berpikir. Digitalisasi bukan tentang memindahkan dakwah ke internet semata, tetapi tentang membangun ekosistem informasi yang partisipatif, interaktif, dan desentralistik. 


Salah satu budaya digital yang menonjol adalah adanya keterlibatan dan partisipasi netizen. Mereka, generasi baru, ingin didengar, diajak berdialog, dan merasa menjadi bagian dari komunitas, bukan sekadar target dakwah. 


NU Online bisa menjadi motor dan penggerak komunitas-komunitas NU muda. Bayangkan jika NU Online membuka ruang kolaborasi bagi santri, Gen Z dan Milenial NU, dari berbagai daerah untuk membuat konten mereka sendiri—dari vlog ngaji kitab, ulasan kearifan lokal, hingga refleksi spiritual harian. Konten seperti itu akan memperluas cakupan narasi NU dan sekaligus memperkuat jejaring kaderisasi digital di akar rumput. NU Online dapat mengambil peran sebagai kurator dan fasilitator, bukan hanya produsen utama.


Lebih jauh lagi, literasi digital menjadi medan penting yang perlu digarap serius. NU Online tak cukup hanya menyajikan konten yang benar, tetapi juga perlu menjadi benteng edukasi melawan hoaks dan intoleransi berbasis agama. Disinformasi yang dibungkus dalil kerap kali lebih membahayakan karena menyasar logika dan emosi publik sekaligus. Dalam konteks ini, NU Online bisa berkolaborasi dengan berbagai stakeholder media termasuk para influencer untuk memproduksi berbagai narasi dan konten yang lebih mendidik publik.


Tantangan terbesar yang dihadapi NU Online adalah menjembatani antara identitas ke-NU-an dengan gaya hidup generasi baru. Mereka mungkin tidak membaca kitab kuning, tapi ingin tahu bagaimana makna ikhlas diterapkan saat menghadapi patah hati. Mereka tidak akrab dengan istilah “mujahadah,” tetapi mencari cara menjaga niat saat bekerja di korporasi multinasional. NU Online perlu hadir dalam ruang-ruang itu—dengan bahasa yang membumi dan pendekatan yang akrab.


Sejatinya bila kita belajar dari perjalanannya selama 22 tahun, NU Online bukanlah sekedar medianya Nahdlatul Ulama, tapi menjadi salah satu peletak dasar transformasi digital ketika semua Nahdliyin saat itu sebagian besar belum mengenal internet. Berkat NU Online, pelan-pelan ekosistem digital NU mulai terbentuk dan mampu merebut kembali narasi keagamaan yang khas Indonesia.


Pada akhirnya, NU Online adalah wajah digital NU di mata publik. Jika wajah itu terasa kaku, eksklusif, dan tidak menyapa realitas kekinian, maka generasi baru NU akan berpaling ke tempat lain. Namun jika wajah itu terbuka, hidup, dan reflektif—maka ia akan menjadi ruang tumbuh bagi kader-kader muda yang cerdas dan sekaligus memiliki nilai-nilai spiritualitas.


Transformasi digital bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan. Dan dalam keniscayaan itu, NU Online bisa menjadi poros utama yang menghubungkan nilai tradisi dengan imajinasi masa depan. Bukan sekadar menjadi portal berita, melainkan menjadi rumah digital bersama bagi umat yang sedang mencari arah.


Selamat Harlah ke-22 NU Online.


Hasanuddin Ali, Founder and CEO Alvara Research Center