Nasional

KPK Beberkan Modus Pemerasan Sertifikat K3 yang Berlangsung Sejak 2019

NU Online  ·  Jumat, 22 Agustus 2025 | 18:00 WIB

KPK Beberkan Modus Pemerasan Sertifikat K3 yang Berlangsung Sejak 2019

Ketua KPK Setyo Budianto saat konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (22/8/2025). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube KPK)

Jakarta, NU Online

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budianto menegaskan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian Ketenagakerjaan yang menyeret Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG) sebagai tersangka adalah murni kasus dugaan pemerasan dalam layanan publik, bukan pengalihan isu politik.


Setyo menyampaikan, modus pemerasan dalam pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah berlangsung lama, bahkan sejak 2019. 


"Kami dapatkan praktik ini sudah berjalan bertahun-tahun, menggunakan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan sertifikasi K3 bila tidak disertai pembayaran tambahan," jelasnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (22/8/2025).


Padahal, biaya resmi penerbitan sertifikat K3 hanya Rp275 ribu. Namun pekerja maupun perusahaan dipaksa membayar hingga Rp6 juta. 


"Ini jelas bentuk pemerasan yang memberatkan masyarakat pekerja. Bukan suap, karena syarat administrasi mereka sudah lengkap, tetapi tetap dipersulit," tegasnya.


Ketua KPK menekankan perbedaan mendasar antara pemerasan dan penyuapan. Dalam kasus ini, masyarakat dan perusahaan sudah memenuhi persyaratan, tetapi justru diperas oleh oknum pejabat.


"Kalau dipaksakan menggunakan pasal suap, pemberi dan penerima sama-sama bisa diproses. Ini berbahaya karena membuat masyarakat takut melapor. Dengan pasal pemerasan, yang jadi tersangka hanya pihak yang menyalahgunakan kewenangan," ujar Setyo.


Ia menambahkan, penerapan pasal pemerasan dalam kasus ini diharapkan menjadi pemicu keberanian masyarakat untuk melaporkan jika mengalami pemerasan dalam pelayanan publik.


Dalam penyidikan, KPK menemukan bukti aliran dana Rp3 miliar serta sebuah motor yang diterima Immanuel Ebenezer. 


"IEG ini mengetahui, membiarkan, bahkan menerima. Itu yang menjadi dasar penetapan tersangka," jelas Setyo.


KPK memastikan praktik ini tidak berdiri sendiri. Investigasi akan terus ditarik ke belakang hingga 2019, termasuk menelusuri aset, rekening nominee (atas nama pihak tertentu, tetapi dimiliki atau dikendalikan pihak lain), hingga kemungkinan tindak pidana pencucian uang (TPPU).


Menjawab pertanyaan publik soal kemungkinan adanya kaitan politik dengan relawan pemilu, Setyo menegaskan KPK tidak melakukan penyelidikan berdasarkan motif politik.


"Kami tidak sedang menargetkan seseorang. Kami menargetkan adanya dugaan pemerasan di Kementerian Tenaga Kerja. Jadi tidak ada istilah pengalihan isu," tegasnya.


Ketua KPK berharap masyarakat pekerja tidak lagi takut melaporkan jika diperas oleh pejabat dalam pengurusan izin atau layanan publik. 


"Kalau sudah lengkap syaratnya tapi masih diminta uang, itu pemerasan. Laporkan saja, masyarakat tidak akan diproses hukum karena bukan penyuap," ujarnya.


KPK berkomitmen melanjutkan penelusuran aliran dana, aset, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus ini.