Opini

Peran Potensial Media Sosial

Rabu, 7 Juni 2017 | 21:11 WIB

Oleh: A Musthofa Asrori
Di era digital atau yang akrab disebut zaman kekinian, munculnya Facebook dan Twitter sebagai jejaring sosial sungguh fenomenal. Kedua media sosial (medsos) terkemuka ini makin membuka lebar kran kebebasan berpendapat melalui dunia maya. Peran dan pengaruh medsos, antara lain, begitu kentara ketika memanggungkan tulisan-tulisan remaja putri asal Banyuwangi, Asa Firda Inayah alias AFI (19 tahun).

Dalam sekejap, status AFI di akun Facebook-nya, Afi Nihaya Faradisa, bertajuk “Warisan” mendadak viral. Warganet (netizen) di seantero Republik sontak bertanya-tanya siapa siswi yang baru lulus SMA ini dan ada apa dengan statusnya. Gema yang ditimbulkan atas tulisan tersebut seakan sama kencangnya kala medsos mengamplifikasi cuitan anak muda penghujat KH A Musthofa Bisri (Gus Mus) di Twitter beberapa waktu lalu.

Di Mesir, kedua medsos ini justru digunakan rakyat sebagai media untuk “bergerilya” mengusung Revolusi musim semi yang berujung lengsernya rezim otoriter Husni Mubarak pada awal 2011 silam. Siapa sangka jejaring medsos Twitter dan Facebook yang lazim digunakan khalayak umum sebagai media pertemanan dan komunikasi singkat dapat dijadikan alat koordinasi rakyat dalam melancarkan protes terhadap pemerintah?

Seiring perkembangan teknologi informasi, aktivitas medsos telah menjadi tren paling populer, terutama Facebook dan Twitter. Tanpa disadari, jejaring sosial kini telah mengalami pergeseran fungsional dari sekedar media komunikasi menjadi alat politik. Penggunaan medsos sebagai alat politik pada praksisnya telah mengglobal hingga menembus batas ruang dan waktu.

Persekusi
Ujung dari aktivitas bermedsos antara lain yang akhir-akhir ini ramai diberitakan berbagai media, yakni persekusi. Kasus ini menimpa remaja berusia 15 tahun berinisial PMA yang merupakan salah satu warga Cipinang Muara, Jakarta Timur serta Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat.

Bagi beberapa orang masih merasa asing dengan istilah ini, dan bahkan ada yang menganggap ini adalah istilah baru. Namun ternyata istilah persekusi sendiri sudah ada sejak lama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.
Kedua korban di atas mengalami tindak persekusi bermula melalui media sosial. Aksi ini diduga dipicu perbuatan PMA yang dianggap telah menghina salah satu ormas dan pimpinannya melalui medsos. Video yang viral di medsos tersebut menunjukkan PMA dikerumuni sejumlah orang yang mengaku simpatisan ormas tersebut. Remaja 15 tahun itu diinterogasi mengenai maksud unggahan statusnya di medsos.

Sedangkan Fiera, didatangi beberapa orang ketika tengah berada di dalam mobil bersama kedua anaknya pada 22 Mei 2017 menyusul tiga status pada akun Facebook Fiera pada 19-21 Mei 2017 yang menanggapi berita kasus yang menimpa pimpinan suatu ormas. Sudah tentu, untuk menghindari aksi persekusi semacam ini terulang kembali, kita harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

Persekusi tak langsung juga dialami AFI. Ia mengalami perundungan (bully) di medsos. Gadis yang baru saja lulus MAN 3 Banyuwangi bahkan menerima ancaman pembunuhan. Meski demikian, AFI beruntung sekali lantaran banyak menuai simpati. GP Ansor dan Banser di daerahnya juga mengunjungi ke rumahnya untuk memberikan rasa aman bagi remaja ini.

Kontribusi Medsos
Terkait isu “persekusi” yang menggelinding liar bak bola salju di Facebook, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Facebook bukanlah satu-satunya medsos yang serta-merta memberi dampak perubahan. Namun, setidaknya Facebook telah berkontribusi terhadap percepatan gerak rakyat. Informasi yang disebarluaskan melalui Facebook menjadi pemicu bagi publik untuk “turun gunung”. Kekuatannya begitu dahsyat dalam mempengaruhi khalayak untuk bersatu padu “menekan” arogansi pribadi maupun kelompok.

Pada titik ini, dapat dipahami bahwa medsos merupakan senjata ampuh bermata dua. Ia terbukti efektif dalam memberikan kontribusi besar bagi siapapun yang disukai maupun dibenci. Tanpa medsos, agaknya kasus persekusi dan apapun yang lahir dari media ini belum tentu terurai. Yang jelas, warganet yang juga memiliki kekuatan sebagai penekan tak bisa dipandang sebelah mata.

Tegasnya, jangan remehkan kekuatan rakyat (people power) di media sosial! Memang, jenis ruang publik baru ini secara fisik tidak kentara, pemakainya juga jarang bertemu. Namun, mereka nyambung di ruang virtual yang melipat dunia hanya dalam seperlemparan batu.

Masih segar dalam ingatan ketika publik melalui jejaring sosial memberikan dukungan kepada dua pimpinan KPK yang dikriminalisasi menyusul lahirnya istilah “Cicak versus Buaya”. Lebih lanjut, ketika DPR menolak pembangunan gedung baru KPK, publik lantas bergerak cepat melakukan perlawanan dengan mengangkat isu saweran untuk gedung baru. Kemenangan Prita Mulyasari atas RS Omni Internasional juga tak lepas dari dahsyatnya medsos.

Dibanding dengan iklan layanan masyarakat di televisi yang sangat mahal, informasi melalui medsos memang sangat potensial. Biayanya minim, namun bisa menjangkau banyak kalangan dalam waktu singkat. Yang lebih menakjubkan lagi, pengaruh medsos kian menjadi-jadi lantaran bersifat interaktif. Satu sama lain saling sahut-sahutan. Tak ayal, pihak-pihak yang merasa disoroti dalam waktu singkat jadi gerah dan kelimpungan.

Kekuatan medsos juga bisa kita rasakan ketika perhelatan Pilkada DKI Jakarta. Pertarungan kubu Anis-Sandi dan Ahok-Djarot dalam memperebutkan suara warga Ibu Kota tak hanya terjadi di dunia nyata. Di jagat maya, pertarungan juga tak kalah seru bahkan percikannya masih kita rasakan hingga hari ini. namun, satu hal yang patut diapresiasi adalah meski perselisihan pendapat terjadi di dunia maya, di dunia nyata tak meletus pertikaian.

Kita sepakat bahwa isu-isu sentral di masyarakat kini tak lepas dari peran dahsyat medsos, dimana rakyat berkomunikasi dalam sebuah kesatuan pikiran dan perasaan lewat media. Singkatnya, medsos memang memiliki peran potensial bagi tegaknya demokrasi di Republik ini. (*)

Kontributor NU Online, tinggal di Jakarta


Terkait