Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
NU Online · Kamis, 14 Agustus 2025 | 22:45 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali menilai aksi demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada 13 Agustus 2025 sudah sampai pada level civil disobedience atau pembangkangan sipil.
Ia menyebut, protes tersebut bukan hanya ekspresi penolakan terhadap kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen, tetapi sebagai bentuk kesadaran politik rakyat yang luar biasa.
“Apa yang terjadi di Pati itu kan bentuk sebuah, kita menyaksikan bahwa masyarakat sekarang itu sudah mengerti politik dan dia mengerti juga mana kebijakan yang pantas dan mana yang tidak pantas,” katanya kepada NU Online di Jakarta pada Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, kehadiran ratusan ribu orang dalam aksi demonstrasi di Pati bukan sekadar jumlah, melainkan cerminan kesadaran kolektif rakyat untuk menolak kebijakan yang dianggap memberatkan.
“Apa yang terjadi di Pati di mana ratusan ribu orang terlibat itu adalah sebuah ekspresi politik yang luar biasa, mungkin dalam sejarah atau selama 20 tahun terakhir, ini demonstrasi terbesar di tingkat kabupaten,” katanya.
Ia menilai bahwa partisipasi rakyat di Pati terjadi secara sukarela. Savic melihat, rakyat datang dengan membawa bendera, menyumbang air mineral, pisang, dan berbagai kebutuhan lainnya sebagai bentuk solidaritas.
Meskipun kebijakan kontroversial tersebut akhirnya dibatalkan, Savic menekankan bahwa substansi dari aksi demonstrasi di Pati adalah bentuk ketidakpatuhan rakyat terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil.
“Walaupun peraturannya akhirnya dibatalkan, bahwa itu bentuk ekspresi bahwa masyarakat menolak kebijakan dan membangkang tidak mau menuruti sebuah kebijakan yang akan digariskan oleh bupati," katanya.
Savic juga menyoroti konteks kenaikan PBB di Pati hingga 250 persen yang menjadi pemicu utama demonstrasi. Ia menyatakan, secara prinsip, pajak memang disepakati sebagai kewajiban warga negara. Namun, penetapannya harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.
“Ini kan terkait pajak dan sekarang orang lagi ramai bicarain pajak karena apa aja dipajakin. Tetapi pajak sebenarnya memang ya bisa dikatakan kita sepakati sebagai kewajiban tetapi harus dilihat penetapan pajak harus melihat kemampuan masyarakatnya,” jelasnya.
Ia menilai kebijakan menaikkan pajak secara drastis tanpa mempertimbangkan daya beli warga merupakan tindakan yang tidak bijak.
“Kalau memang ekonominya lagi bagus, masyarakat secara umum makmur, saya kira memang semestinya warga itu bayar pajak. Tetapi kondisinya masyarakatnya juga lagi sulit, menaikkan pajak apalagi dalam angka yang tidak masuk akal 250 persen itu kan tidak bisa diterima," katanya.
Lebih jauh, Ia menyoroti lemahnya perencanaan kebijakan di balik lonjakan tarif PBB tersebut. Menurutnya, kenaikan seharusnya dilakukan secara bertahap atau incremental, tidak langsung dalam jumlah besar.
Savic menilai bahwa meskipun tarif tidak dinaikkan sejak tahun 2014, hal itu bukan alasan yang dapat membenarkan lonjakan hingga 250 persen secara tiba-tiba.
“Yang salah juga kan artinya bupatinya sendiri. Kenapa nggak naik dari 2014? Artinya kan ada kenaikan pajak tapi harus disesuaikan atau dilihat kondisi masyarakatnya dulu, itu pertama,” terangnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
3
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
4
Nusron Wahid Klarifikasi soal Isu Kepemilikan Tanah, Petani Desak Pemerintah Laksanakan Reforma Agraria
5
Badai Perlawanan Rakyat Pati
6
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
Terkini
Lihat Semua