Tokoh

Kecintaan Seorang Habib kepada Kiai NU hingga Dimakamkan Berdampingan

Jumat, 27 Maret 2020 | 13:00 WIB

Kecintaan Seorang Habib kepada Kiai NU hingga Dimakamkan Berdampingan

KH Muhammad Masthuro

Pada tahun 1920, seorang habib (keturunan Rasulullah) datang ke  Hindia Belanda (Indonesia). Ia adalah Habib Syekh bin Salim Al-Athas, seorang habib berasal dari Hadramaut, Yaman. Ia datang ke Indonesia setelah berguru ke berbagai ulama di berbagai tempat dalam berbagai bidang disiplin keilmuan. Bisa dikatakan ia yang waktu itu baru berusia 27 telah cukup waktu untuk mendakwahkan ilmunya. Dipilihnya Indonesiayang waktu masih dalam keadaan terjajah sebagai lapangan pengabdiannya.      

Pada tahun yang sama di daerah Sukabumi, seorang kiai mendirikan sebuah pesantren setelah berkalana ke sana ke mari berguru kepada satu kiai ke kiai lain dalam berbagai disiplin ilmu. Ia waktu itu berusia 19 tahun. Dengan semangat menyala, ia ingin menyinari masyarakat dari kegelapan dan ketidaktahuan, ingin mengenalkan agama dengan berdakwah dan mendirikan pesantren sebagai tempat pengamalan ilmunya, serta sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat untuk mendapat ridhlo Allah SWT. Ia bernama KH Muhammad Masthuro.  

Habib Syekh bin Salim Al-Athas datang ke Indonesia menemui para habib yang telah lebih dulu tinggal di Indonesia. Setelah berkelana ke berbagai tempat, ia memilih Sukabumi sebagai tempat tinggalnya. Di daerah tersebut ia menjadi guru para kiai dari Sukabumi dan sekitarnya seperti Cianjur dan Bogor, serta daerah lain. 

Para kiai yang telah membuka pesantren pun tak sungkan untuk berguru kepadanya, salah satu di antaranya adalah KH Muhammad Masthuro. 

Di dalam buku Kisah Indah Al-Masthuriyah karya Daden Sukendar disebutlan bahwa KH Masthuro meski stausnya sudah menjadi pemimpin pesantren tetap ikut mengaji kitab-kitab yang dilaksanakan oleh Habib Syekh bin Salim Al-Attas, seorang ulama besar keturunan Nabi Muhammad SAW di daerah Cikole, Kota Sukabumi.

Tak hanya Kiai Masthuro yang seperti itu, para kiai lain juga tak ingin ketinggalan untuk berguru kepadanya. Tercatat misalnya KH Ajengan Muhammad Syuja'i Ciharashas, tokoh NU dari Cianjur, KH Ajengan Abdullah Sanusi (Sukamantri, tokoh NU Sukabumi), KH Ajengan Aang Sadzili Cibeureum, dan kiai-kiai lain.  

Namun, KH Masthuro memiliki kedekatan tersendiri dengan Habib Syekh. Menurut Daden Sukendar dalam bukunya itu, Habib Syekh melihat sifat-sifat mulia pada diri KH Masthuro. Terutama ketawaduan, keikhlasan, ta’dzimnya kepada sang guru guru, serta kecerdasan dan sifat-sifat baik lainnya. 

Habib Syekh begitu mencintainya karena sikap dan sifat KH Masthuro itu. Begitu juga dengan KH.Masthuro kepada sang habib, ia sangat cinta dan menghormatinya.  Hubungan keduanya sangat dekat, sehingga pada saat menjelang wafatnya, Al-Habib Syekh meminta untuk dikebumikan di samping murid kesayangan dan kepercayaannya itu.

Karena itulah, habib yang lahir di Hadramaut dan tinggal di Cikole, Kota Sukabumi itu, saat tutup usia dimakamkan di kompleks pondok pesantren Al-Masthuriyah. KH Masthuro wafat meninggal tahun 1968, tanggal 27 rajab, pada Jumat malam pukul 22.10, sedangkan Habib Syekh meninggal tahun 1978. 

KH Muhammad Masthuro dan NU
Pondok pesantren Al-Masthuriyah pernah melahirkan seorang Wakil Rais Aam PBNU, yakni KH E. Fakhruddin Masthuro. Ia tiada lain merupakan putra dari KH Muhammad Masthuro. Wakil rais aam, bukan kedudukan yang main-main di NU, tapi menempati posisi kedua dalam pimpinan tertinggi, setelah rais aam. Dan tentu, orang yang terpilih menjadi wakil rais aam adalah kiai yang secara organisasi dan keilmuan sudah terverifikasi oleh para kiai lain. 

Partiapasi politik Mama Masthuro dimulai tahun 1955 pada saat pemilu pertama kali diselenggarakan di Indonesia, Mama saat itu memutuskan memilih partai NU sebagai wadah aspirasi politiknya.

Lalu bagaimana asal-mula KH Masthuro menjadi NU? Menurut salah seorang cucu KH Masthuro, Endang Iskandar, kemungkinan besar kakeknya mulai aktif di NU sejak 1952. NU dipilih sebagai saluran aspirasi politik merupakan ijtihad politik Kiai Masthuro. 

Menurut dia, ini adalah ijtihad politik yang luar biasa mengingat saat itu NU bukanlah partai populer di Jawa Barat yang merupakan basis Masyumi dan PNI.  Bahkan NU masih kalah populer dibandingkan PKI. Ketidak populeran NU saat itu sebagai akibat keluarnya NU dari Masyumi tahun 1952. 

Pilihan Kiai Masrhuro kepada NU sebagai partai politik tidak lepas pada pilihan-pilihan rasional,  bisa jadi salah satu pertimbangan adalah karakter keagamaan dan karakter politik NU yang moderat dan tidak kaku dalam menghadapi persoalan kehidupan politik bangsa Indonesia.

Sepeninggal Kiai Masthuro, pada Pemilu tahun 1971 suara keluarga besar dan santri Al-Masthuriyah tetap disalurkan pada NU bahkan ketika NU dipaksa disatukan dalam PPP, Al-Masthuriyah tetap mendukungnya, hal ini bisa dilihat dari militansi keluarga besar Al-Masthuriyah dibawah Trio Kepemimpinan KH Syihabudin, KH Fakhrudin dan KH Aziz Masthuro konsisten mendukung PPP setidaknya sampai pada pemilu 1982.

Sejalan dengan Khittah NU 1926 tahun 1984 dimana NU keluar dari PPP, pada pemilu 1987, suara keluarga besar Al-Masthuriyah tidak hanya disalurkan ke PPP sebagian menyalurkanya kepada Golkar. Kemudian, pasca reformasi, ijtihad politik  dilanjutkan oleh KH E. Fakhrudin Masthuro, yakni pada tahun 1999, ia turut serta mendeklarasikan PKB di Kabupaten Sukabumi.

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Alhafiz Kurniawan