Warta

Abu Zayd: Indonesian Muslim is Smiling Islam

Rabu, 8 September 2004 | 13:55 WIB

Jakarta, NU Online
Abu Zayd, tokoh pemikir Islam dari Mesir mengemukakan bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang ramah. Islam yang tidak menunjukkan wajah keras kepada pihak lain. “Seharusnya pandangan seperti ini diekspor ke Timur Tengah,” ungkapnya dalam acara seminar Kitab Suci dan Kenyataan Multikulturalisme yang diselenggarakan The Wahid Institute di Jakarta (08/09).

Ungkapan yang sama sebenarnya juga pernah di kemukakan ketika ia berbicara di kantor Lakpesdam NU beberapa waktu lalu. Ia berpendapat bahwa Islam di Indonesia merupakan Islam yang damai kerena Islam tidak datang melalui invasi militer, tetapi melalui para pedagang dan para sufi yang menyebarkan Islam dengan cara-cara kedamaian.

<>

Dalam forum yang diadakan sehari setalah launching The Wahid Institut ini, Penulis yang pernah dikafirkan di Mesir ini juga nyatakan bahwa Qur’an bukanlah sebuah teks, tetapi sebuah discourse.”Fukaha zaman dahulu mendekati Qur’an sebagai teks sehingga hanya ada satu pilihan, menerima atau menolak, tapi kalau menggunakan Qur’an sebagai discourse banyak pilihan yang didapat, Karena disana tercermin dinamika antara yang suci dan masyarakat. ” ungkapnya.

Ditambahkannya bahwa Qur’an tidak hanya bicara tentang Islam, tetapi juga umat lainnya, seperti Nasrani dan Yahudi. Ini tercermin dalam kata-kata seperti yaa ayyuhalladhiina amanuu. Yaa ayyuhannas, Yaa ayyuhal kaafiruun, dll. “Ini membuktikan bahwa Islam tidak hanya berbicara pada satu pihak saja,” tambahnya.

Qur’an juga bersifat multikulturalisme dalam arti berbicara pada banyak suara. Dalam Qur’an terefleksikan suara untuk Muhammad, untuk tuhan sendiri, dan juga untuk umat manusia. “Tuhan berbicara pada dirinya seperti Innanii,” tandasnya.

Selanjutnya ia juga tidak menolak Qur’an sebagai kitab suci. Ia hanya membicarakan tentang struktur antara penerima dan pemberi wahyu. Ia tidak mempersoalkan tentang kesucian, tetapi struktur yang ada dalam Qur’an.

Dicontohkannya dalam kasus imam Ali ketika berhadapan dengan orang Qawarij yang memiliki corak agama formalistik yang menginginkan al Qur’an sebagai arbitrer dengan mengacu pada laa qukma illa lillah.

“Imam Ali nyatakan bahwa qur’an terdapat diantara dua sampul mushaf tersebut. Yang berbicara adalah manusia, mushaf hanya diam saja,” tegasnya.

Qur’an juga memiliki dua sisi, yaitu makro dan sisi mikro. Sisi mikro meliputi sejarah dalam al Qur’an sedangkan sisi makro adalah makna dari hal tersebut seperti makna keadilan. “Karena itu pilihan yang tepat adalah yang makro karena yang mikro selalu berbeda-beda antara satu tempat dengan yang lainnya,” jelasnya.(mkf)

 


Terkait