Warta

Bangsa Indonesia Miliki Potensi Cegah Disintegrasi

Senin, 26 Juni 2006 | 03:26 WIB

Jakarta, NU Online
Beragam persoalan yang kini muncul bersamaan semakin membuka peluang terjadinya disintegrasi bangsa. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terancam. Meski demikian, potensi mencegah terjadinya keretakan itu ternyata juga dimiliki bangsa Indonesia.
 
Demikian salah satu kesimpulan yang mengemuka pada sesi kedua Seminar Kebangsaan bertajuk "Meneguhkan Kembali NKRI: Kajian Potensi Disintegrasi Bangsa"  yang digelar di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hikam, Malang, Jawa Timur, Sabtu (24/6) sore.

<>Hadir sebagai narasumber pada acara yang digelar menyambut Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) 27 Juli mendatang itu, Pengamat Ekonomi Faisal Basri, Anggota Komisi Pertahanan DPR Sutradara Gintings dan Ketua Badan Kehormatan DPR-RI Slamet Efendy Yusuf.
 
Sutradara Gintings dalam paparannya mengatakan, melihat utuh atau tidaknya bangsa ini sangat tergantung pada gaya kepemimipinan nasional. Menurutnya, percuma saja berbagai aturan regulasi  disiapkan untuk bangsa ini. “Kalau nyatanya pemimpin tak berani menunjukkan sikap yang tegas,” tandasnya.

Politisi asal Fraksi PDI Perjuangan ini melihat upaya sekelompok masyarakat yang ingin menentang Pancasila akan mendapat perlawanan dari kelompok lainnya. Dia menyontohkan, begitu konsistennya Nahdlatul Ulama mengedepankan kehidupan kebangsaan dengan format Pancasila.
“Ini yang saya hargai dari NU, sebelumnya banyak pihak menolak Pancasila, tapi NU tetap konsisten menjaga NKRI didasari semangat Pancasila,” jelas Sutradara.
 
Berbeda dengan Sutradara, Faisal Basri lebih menyoroti ancaman disintegrasi bangsa dari sisi ekonomi. Menurutnya, konsep perekonomian Indonesia belum jelas ada di posisi mana. Konsep ekonomi Pancasila, katanya, juga tidak ada kejelasan.
 
Dalam tataran dunia, Faisal menerangkan, terdapat beberapa konsep besar sistem perekonomian, yakni konsep liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Sementara, Pancasila, menurutnya, tidak dapat dijadikan sebagai ideologi ekonomi.
 
“Kalau sebagai ideologi dasar dapat dibenarkan, namun itu pun perlu alat turunan untuk mengakomodir konsep ekonomi yang diinginkan,” terang pakar ekonomi dari Universitas Indonesia.
 
Namun demikian, Faisal menyatakan optimismenya terhadap masa depan Indonesia dari sisi ekonomi. Ia yakin, ke depan bangsa Indonesia akan mempunyai konsep ekonomi yang berpihak pada satu konsep di luar konsep ekonomi Pancasila.
 
Ia menyebut konsep ekonomi pasar yang nantinya berpeluang akan digunakan oleh Indonesia. “Sistem pasar lah yang nanti akan menentukan. Meski begitu, sistem pasar jangan dipertentangkan dengan negara,” ujarnya.
 
Sementara itu, Slamet Efendy Yusuf melihat ancaman disintegrasi bangsa dari kontroversi tentang Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang belakangan banyak diperbincangkan masyarakat.
 
Politisi Partai Golkar yang juga mantan Ketua Umum PP GP Ansor ini mengaku tidak bisa memahami penilaian banyak pihak yang menganggap bahwa perda-perda tersebut syarat dengan nuansa Islamisasi. Seharusnya, katanya, pihak yang menentang bisa melihat lebih jauh ke depan. “Aturan itu dibuat untuk menjaga moralitas, bukan untuk menonjolkan sebuah agama,” tandasnya.
 
Larangan pelacuran, minuman keras, perjudian, ungkap Slamet, bukan hanya larangan moral dari Islam saja, tapi agama lain juga ada. Tapi aturan itu, katanya, terus dipertentangkan, padahal sudah tahu kalau di agama lain juga ada.
 
Selain itu, Slamet menambahkan, perda-perda tersebutr sudah disusun sebelumnya dengan mengkomodir kekuatan partai politik setempat. “Kalau memang tidak diinginkan kehadirannya, parpol tersebut pasti menentang saat dibuatnya perda tersebut,” terangnya. (rif)


Terkait