Warta

Hari Perjuangan Petani Internasional Diperingati

Selasa, 18 April 2006 | 04:05 WIB

Jakarta, NU Online

17 April diperingati sebagai tanggal bersejarah bagi para petani di seluruh dunia. Pada tanggal itu, tepatnya tahun 1996, terjadi insiden pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap 17 orang petani di Carajas, Brazil yang mempertahankan tanahnya. Tanggal itu menjadi penanda perjuangan kaum tani untuk mempertahankan hak-hak dan kedaulatannya.

<>

Di salah satu sudut di Indonesia, Federasi Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) pada tanggal 17 April kemarin mengadakan panen raya dan diskusi massa mengenai impor beras di Indonesia. Acara ini digelar di tengah sawah, tepatnya di Desa Solokan, Kecamatan Pakis Jaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan dihadiri oleh sekitar 700-an petani dari Karawang dan sekitarnya.

"Kami ingin momentum Hari Perjuangan Petani Internasional ini menjadi titik balik perjuangan petani, agar terus menolak kebijakan impor beras yang menyakiti petani," kata Henry Saragih, Sekjen FSPI sebagaimana dilaporkan situs FSPI.

Para petani yang hadir menuntut pemerintah untuk terus mensubsidi dan memberi insentif kepada petani, dan bukan malah menghambur-hamburkan anggaran untuk pembelian beras impor yang menguntungkan pedagang dan perusahaan besar. Secara simbolik mereka mengacungkan padi tinggi-tinggi ke udara. "Kami ingin menunjukkan kepada publik bahwa Indonesia berdaulat atas pangannya, dan tidak memerlukan impor beras,"


"Indonesia adalah negara agraris, yang harus berdaulat atas pangannya sendiri. Banyak lumbung padi di Indonesia, dan Karawang salah satunya. Untuk apa kita mengimpor jika sudah tercukupi? Harus ada cetak biru pertanian yang jelas dan berpihak kepada petani, mulai dari akses tanah, air, dan perdagangan. Untuk itulah kita harus menegakkan UU Pokok Agraria 1960 dan melaksanakan pembaruan agraria," demikian Henry.  

Para petani dan organisasi petani yang hadir dalam peringatan itu menuding Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menghancurkan pasar serta mekanisme harga domestik. Akibatnya petani Indonesia tidak menerima harga yang layak, dan akhirnya menjadi miskin. "Impor beras di akhir tahun 2005 yang lalu juga disinyalir merupakan paksaan WTO," kata Henry. (nam)


Terkait