Warta

Kebijakan Pangan Harus Berdayakan Petani

Jumat, 3 September 2004 | 05:02 WIB

Jakarta, NU Online
Kebijakan pangan Indonesia perlu diubah dengan menggunakan paradigma yang tidak memiskinkan petani serta membuat petani berdaya dan berdaulat. "Kebijakan pangan nasional tidak cukup hanya sampai ketahanan pangan yang masih bergantung pada impor pangan, tetapi juga bagaimana mencapai kedaulatan pangan untuk petani," kata Direktur Eksekutif Konsorsium Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) Tejo W Jatmiko dalam diskusi di Jakarta, Kamis.

Dikatakannya, kebijakan ketahanan pangan selama ini tidak mengandung esensi memberdayakan petani, tetapi sekedar memenuhi kebutuhan cadangan pangan saja dan malahan tidak pernah menyejahterakan petani. Setiap tahun Indonesia mengimpor ratusan ton beras, belum dihitung beras yang diselundupkan hanya untuk mencukupi cadangan beras supaya tercapai ketahanan pangan, termasuk impor sayur-mayur, buah-buahan dan bahan pangan lainnya.

<>

Menurut dia, jika masyarakat Indonesia yang agraris ingin makmur, petaninya harus berdaulat atas sumber produksi pertanian seperti tanah, air, benih, serta berbagai cara memproduksi pangan lainnya. Sejak Revolusi Hijau yang digerakkan pemerintah pada akhir 1960-an, ujar Tejo, petani Indonesia kemudian mengalami ketergantungan yang tinggi pada industri-industri besar kimia dan perusahaan multinasional, benih unggul, pupuk kimia, dan obat-obatan pembasmi hama (pestisida) serta mekanisasi pertanian.

Namun dalam beberapa dekade selanjutnya praktek tersebut menimbulkan permasalahan, khususnya terhadap kerusakan lahan, ekosistem dan kesehatan masyarakat konsumen pangan, ujarnya. "Penyakit dan hama tanaman semakin kebal dan membuat petani terus menambah dosis kimianya, fauna tanah yang bermanfaat bagi kesuburan tanah juga nyaris hilang akibat input agrokimia berlebihan," katanya.

Akibatnya ekosistem rusak dan berdampak buruk bagi keberlanjutan pertanian selanjutnya, kesehatan manusia juga menurun seiring dengan produk pangan yang terlalu banyak mengandung zat kimia, katanya. Pihaknya saat ini sedang melakukan gerakan bersama demi kedaulatan petani dengan menggalakkan pertanian organik yang menghindarkan penggunaan kimia yang cenderung bersifat meracuni lingkungan dengan prinsip penghargaan pada alam, keseimbangan ekosistem, kemandirian, kekhasan lokal, keanekaragaman varietas, dan keberlanjutan.

Gerakan tersebut sejalan dengan gerakan di tingkat Asia Pasifik "Peoples’s Caravan 2004 for food Sovereignity" atau Gerakan Masyarakat untuk Kedaulatan Pangan dengan tema yakni "keluarkan WTO dari pangan dan pertanian", "Tolak Pestisida dan Rekayasa" dan "Tolak Perusahaan Multinasional Agrokimia". Kegiatan kampanye ini berlangsung di tiga simpul yakni di Jakarta (wilayah barat), Solo (tengah) dan di Nusa Tenggara Timur (timur). Di Jakarta, ujarnya, dinamai dengan "Kampoeng Organik" diselenggarakan di Bumi Perkemahan Ragunan pada 23-26 September 2004. (atr/cih)


Terkait