Warta

NU Diharapkan Pelopori Gerakan “Hari Tanpa Televisi”

Rabu, 5 Desember 2007 | 10:23 WIB

Jakarta, NU Online
Perhatian Nahdlatul Ulama (NU) terhadap perkembangan media massa, terutama media televisi, rupanya berbuah hasil. Setidaknya, berupa dukungan dari sejumlah kalangan pemerhati media. Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu diharapkan bisa memelopori gerakan moral “Hari Tanpa Menonton Televisi”.

“Di Jerman, ada ‘Satu Hari Tanpa Televisi’. Nah, NU, kan massanya banyak. Kalau NU bisa melakukan gerakan seperti itu, saya kira akan lebih bermanfaat bagi perkembangan televisi,” kata Direktur Utama Radio Republik Indonesia, Parni Hadi.<>

Ia mengatakan hal itu saat menjadi narasumber pada sarasehan bertajuk “Menakar Plus Minus Media Massa Indonesia” di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (5/12)

Parni mengaku prihatin atas perkembangan dunia hiburan televisi yang kerap menampilkan tayangan tak mendidik. Menurutnya, pengusaha stasiun televisi hanya berupaya mengejar keuntungan ekonomis semata dan mengabaikan aspek pendidikan generasi muda bangsa.

Karena itu, harus ada kontrol dari masyarakat sendiri agar stasiun televisi juga memperhatikan aspek pendidikan dalam setiap tayangan yang ditampilkan. Ia yakin, jika NU yang melakukan gerakan moral itu, pasti akan banyak berpengaruh.

“Kalau NU mau melakukan itu, RRI siap mendukung. Kami siap untuk mempublikasikan, mengekspos dan mengumumkan kepada masyarakat akan gerakan moral itu,” ujar Parni di hadapan para peserta sarasehan yang diselenggarakan PBNU itu.

Pengamat Media Massa, Said Budairi, yang juga hadir sebagai narasumber pada kesempatan itu mengatakan mendukung bila NU mau melakukan gerakan moral tersebut. Menurutnya, gerakan moral yang datang dari masyarakat yang bisa memengaruhi arah kebijakan media massa, memang harus segera dilakukan.

Dalam kesempatan itu, ia mengingatkan kembali akan fatwa haram yang dikeluarkan NU atas tayangan infotainment (informasi hiburan) Juli 2006 silam. Menurutnya, fatwa yang merupakan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya itu sudah cukup untuk membuat pengusaha tayangan hiburan televisi berpikir ulang.

Selain itu, kata Ketua NU Media Watch tersebut, juga perlu dilakukan koordinasi yang intensif antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers dan Lembaga Sensor Film (LSF). Hal itu, katanya, penting dilakukan agar ketiga lembaga tersebut tidak seolah-olah berjalan sendiri-sendiri.

“KPI memasukkan tayangan infotainment dalam klasifikasi dewasa yang harus ditayangkan pada pukul 10 malam sampai 3 pagi. Sementara, televisi masih menayangkan selain jam tersebut dengan alasan telah lulus sensor dari LSF. Ditanya ke LSF, alasannya, tak disensor karena infotainment termasuk kategori news (berita, red),” terangnya. (rif)


Terkait