Warta

NU-Muhammadiyah Pelopori Kebangkitan Ekonomi Umat

Selasa, 14 September 2004 | 06:30 WIB


Jakarta, NU Online
Kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskian   umat Islam, sebab  dari data demografi diketahui bahwa  umat Islam berada  pada strata sosial dan ekonomi paling bawah. Oleh karena itu,  perlu digerakkan kebangkitan ekonomi umat untuk mengentaskan  keterpurukan  lebih lanjut.

 "Kami dari NU dan Muhammadiyah bermaksud merumuskan cara terbaik untuk menggerakkan kebangkitan ekonomi umat. Siapapun presidennya mendatang, masukan dari kami sebaiknya diperhatikan. Sebab, jika umat Islam ini tidak bergerak ekonominya, maka secara otomotis Indonesia juga mangkrak,"jelas Ketua LDNU KH A.N Nuril  Huda kepada NU Online,di sela Seminar Sehari "Agama dan Kemiskinan" di  Jakarta, kemarin.

<>

Acara yang digelar oleh Center for Moderat Moslem (CMM) itu dihadiri antara lain Ketua CMM Dr Tarmidzi Taher, Rozy Munir, M.Si, Dr Sechan Sahab, Dr Mubyarto, Muhammad Lutfi (Ketua Umum HIPMI) dan Mantan Menkop Adi Sasono.

Dalam pandangan Kiai Nuril, dari sekian banyak rakyat miskin di Indonesia itu, dapat dipastikan mayoritas adalah warga NU. Oleh karena itu, kerja sama NU dan Muhammadiyah akan menjadi sinergi  simbiosis bagi Indonesia di masa mendatang.

Sementara itu,  dalam sikusi panel, Tarmidzi menyatkan bahwa Gerakan mencari solusi terhadap upaya meningkatkan ekonomi umat perlu terus digulirkan, sehingga terwujud gerakan ekonomi yang konkrit  dan mampu memperbaiki kehidupan umat dan mengangkat dari jurang kemiskinan. Seminar kali  ini, lanjutnya adalah untuk  membantu pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dengan  berlandaskan pada pemberdayaan ekonomi Islam secara optimal.

Tarmidzi kemudian menceritakan sistem kebangkitan umat yang digerakkan dari dalam masjid seperti di Iran. Di sana ada petunjuk manajemen masjid dan kenyataannya dana umat yang terkumpul dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup umat.
 
Pada pihak lain,  Menteri Agama dalam sambutannya tertulisnya yang dibacakan Sekjen Depag Faisal Ismail mengatakan, agama Islam tidak menghendaki umatnya hidup dalam belenggu kesulitan ekonomi. Sejalan dengan hal itu, agama memberi dorongan yang kuat kepada pemeluknya untuk secara bersama-sama menanggulangi persoalan kemiskinan.Kita menyaksikan masih banyak di antara umat beragama di Indonesia yang menyandang predikat miskin. Fenomena itu mengharuskan kita untuk mengkaji bersama hal itu.

Menurut Menag, kita dituntut untuk mengetahui faktor-faktor penyebab penyebab terjadinya kesenjangan antara kualitas  hidup yang diharapkan oleh kitab suci dengan realitas kehidupan yang ditunjukan oleh masyarakat Islam. Tujuannya ialah untuk melakukan langkah-langkah yang tepat untuk mengentas atau mencari solusi yang tepat.

Penyebab terjadinya kemiskinan sangat beragam, kata Menag, diantaranya adalah faktor manusia. Penyandang predikat miskin mungkin memiliki sikap hiduyp yang tidak positip, namun boleh terjadi proses pemiskinan yang dilakukan oleh pihak lain yang lebih kuat.

Menag menyatakan, Al Quran mengisyaratkan agar zakat atau infaq dikelola secara professional sehingga dana tersebut menjadi produktif, dapat menciptakan lapangan kerja, membantu meningkatkan kualitas SDM serta dapat mengembangkan ekonomi umat. “Pengelolaan zakat dan infaq yang baik merupakan salah satu upaya memecahkan kemiskinan yang dihadapi umat Islam,” ujarnya.

Pembicara lainnya, Prof Mubyarto mengatakan, berkali-kali masalah kemiskinan yang dihadapi bangsa Indonesia telah dijadikan sasaran program pemerintah maupun kelompok-kelompok umat beragama yang selalu prihatin dan bertekad “menghapuskannya.” Namun selalu saja berbagai program itu laksana “pelipur lara”. Selama Orde Baru, program penanggulangan kemiskinan cukup serius dilaksanakan tetapi hasilnya masih kurang berarti karena pertumbuhan ekonomi tinggi juga mengakibatkan meningkatnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.

Pembangunan ekonomi yang mendekati “keajaiban (miracle), kata Mubyarto, sesungguhnya justru mengakibatkan kemiskinan relatif bertambah parah. “Krismon 1997/98 menjadi bukti meledaknya “bom waktu” akibat strategi pembangunan ekonomi yang keliru yang tidak memprioritaskan penanggulangan kemiskinan.
 
Mubyarto menambahkan, adalah wajar dan adil jika kini pemerintah benar-benar harus melaksanakan kebijakan ekonomi yang populis, yang memihak kepada kelompok miskin/ekonomi lemah, yang secara keseluruhan termasuk dalam ekonomi rakyat. “Usaha ekonomi rakyat mikro berjumlah 40 juta unit yang menghidupi 160 juta orang Indonesia. Mengapa pemerintah ragu untuk mencurahkan perhatian pada mereka?" tanya Mubyarto.

Kesanksian keseriusan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan juga dirasakan seorang mantan pegawai Bank Syariah. Katanya, un


Terkait