Warta

PBNU Harus Lakukan Rekonsiliasi Secara Institusi

Rabu, 22 September 2004 | 10:44 WIB

Jakarta, NU Online
PBNU secara institusi harus merespon upaya gerakan rekonsiliasi yang dilakukan komponen kultural Nahdlatul Ulama dengan korban G30S-PKI. “Biarkan kesalahan masa lalu menjadi kenyataan sejarah kelam yang harus dilupakan untuk membangun keutuhan bangsa kedepan,” ungkap anggota Komnas HAM MM. Billah kepada NU Online beberapa waktu lalu.

Menurut Billah, upaya ke arah rekonsiliasi secara institusi ini sangat perlu di lakukan, bukan karena Nahdlatul Ulama ketika itu mau tidak mau masuk dalam pusaran kekuatan besar yang tidak dapat di elakan, tetapi karena secara empirik dan normatif upaya itu telah dilakukan di tingkat bawah. “Sekarang tinggal Nahdlatul Ulama secara institusi yang melakukan itu,” katanya.

<>

Dan secara individual sebenarnya KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), lanjut Billah sudah mengakui itu hanya secara organisasional yang belum. “Jadi sebenarnya pada tataran ini  sudah tipis sekali. Artinya ada arus besar yang sekarang mendorong NU secara institusional mengesahkan gerakan rekonsiliasi antara warga NU dengan warga korban. Tinggal  mengesahkan kan artinya secara organisatoris dan secara politis,” paparnya.

Dijelaskankannya, Nahdlatul Ulama dalam konteks pembantaian anggota PKI ketika itu, bukan semata-mata keinginan untuk melakukan genocide akibat tekanan politik, tapi ada kekuatan besar dibaliknya. Ketika itu kekuatan politik hanya terdiri dari 3 yakni Sukarno, AD, PKI dan situasi politik internasional yang memanas sangat mempengaruhi suhu politik Indonesia. “Struktur politik ketika itu (1965) masih gencar perang dingin antara Amerika dengan Uni soviet dan Indonesia menjadi satu kekuatan yang mau tidak mau terlibat dalam pusaran besar itu,” katanya.

Jika analisis ini benar, kata Billah maka NU bukan kekuatan politik yang terletak pada titik pusat tapi pada kekuatan pinggiran. “Jadi semacam ikut arus, seperti ada banjir misalnya, orang akan kebanjiran. Mereka yang ada di lapangan seperti Pemuda Ansor yang ikut di lapangan pada waktu itu, jadi ikut arus terdorong dan terseret terus sehingga tidak bisa berbuat lain,” ungkap Ketua Tim Ad Hoc Pemantau Perdamaian di Aceh Komnas HAM ini.

Karena itu, dengan segala ketulusan sebenarnya tokoh yang dulu terlibat secara organisasional sesungguhnya tidak ada salahnya meminta maaf. “Benar dulu kami terlibat, dan sejauhmana terlibatnya juga diterangkan. Jadi saya kira dengan menyatakan rasa bersalah, mengakui dan terlibat oleh karena  itu merasa bersalah dan meminta maaf adalah sikap yang positif dan terpuji,” kata dia.

Ditambahkan Billah, kalau upaya secara institusi itu tidak dilakukan akan terjadi dua kesalahan, pertama bahwa NU tidak cukup menangkap sinyal-sinyal yang sudah sekarang muncul dilapangan adanya rekonsiliasi antara korban dan warga NU itu keaslahan empiris karena tidak menangkap sinyal itu. Kedua kesalahan normatif bahwa, ketika secara historis NU terbukti terlibat besar atau kecil kemudian tidak mengakui kesalahan,  itu kesalahan yang kedua. “Terlepas dari UU KKR yang sudah ada sekarang itu soal lain tetapi ini soal internal NU sendiri,” imbuh aktivis HAM kawakan ini. (cih)


Terkait