Warta

Perlindungan Nasib Petani Baru Sebatas Wacana

Kamis, 9 September 2004 | 11:23 WIB

Jakarta, NU Online
Terungkapnya manipulasi volume impor beras baru-baru ini terhadap impor beras yang sudah dilakukan pada periode Maret – April 2003 memperkuat dugaan atas ketidakseriusan pemerintah selama ini dalam melindungi kepentingan masyarakat petani.

Sebagaimana diberitakan di media Ibu Kota baru – baru ini, telah ditemukan sejumlah dokumen impor beras tahun 2003 yang menunjukkan bahwa lima dari enam kapal yang berasal dari Vietnam membawa beras dengan modus setengah mencuri “spanyol”.

<>

Kapal-kapal milik perusahaan pelayaran Vinaship dari Vietnam membawa beras Vietnam Southern Food Corporation (Vinafood) pada Maret-April 2003 sebanyak 46.500 ton. Dari jumlah tersebut hanya 29.355 ton yang dilaporkan ke salah satu otoritas Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta (PT Pelindo II). Ini berarti volume beras impor yang tidak dilaporkan mencapai 17.145 ton.

Diduga jumlah kapal beras “spanyol” ini bisa bertambah karena pada periode Maret-April 2003 terdapat 36 kapal dengan jumlah muatan seluruhnya mencapai 144.000 ton. Pada saat itu dilaporkan pula bahwa ada  tiga kapal yang diduga membawa beras “spanyol” dengan tujuan Semarang dan Surabaya pada waktu yang sama.

Anggota DPR RI dari Komisi III Imam Churmen menilai praktik impor “spanyol” ini sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi kepentingan petani. “Bila impor beras dengan modus “spanyol” ini benar, maka kasus ini menambah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi kepentingan petani,”jawab Churmen kepada NU Online, Kamis (9/9).

Churmen mengatakan, bahwa penilaian dia berkaitan dengan seringnya terjadi modus impor illegal maupun impor “spanyol”. “Kasus impor gula ilegal baru terjadi beberapa bulan yang lalu, sekarang ditemukan lagi kasus baru, ini kan bukti pemerintah tidak serius menegakkan hukum untuk melindungi kepentingan petani,”kata Churmen.

Anggota DPR RI yang juga aktivis organisasi pertanian ini menegaskan, bahwa pengungkapan kasus – kasus impor ilegal seringkali hanya terdengar keras di Koran dan media massa lainnya. Sesudah tidak dipermasalahkan media massa, kata Churmen, semua berakhir menjadi tidak jelas.

“Kita bisa bertanya, apakah sekian ribu ton gula yang seharusnya dimusnahkan itu benar-benar musnah? Kalau benar-benar musnah seharusnya ada berita acaranya,”kata Churmen.

Ternyata mengharap penegakan hukum untuk melindungi kepentingan petani sama sulitnya dengan mengharap bulan jatuh kepangkuan manusia. Masyarakat yang meminta kejelasan pemusnahan ribuan ton gula impor, kata Churmen, malah kebanjiran gula yang merugikan para petani tebu itu. 

Pemandangan seperti ini seakan tidak pernah sepi, dan justeru terus berulang. Padahal bila bicara penegakan hukum, kata Churmen seharusnya tidak ada alasan bagi Kabinet Gotong Royong untuk menyatakan kesulitan menjalankannya. “Sebab yang namanya kabinet pemerintahan itu sistem satu atap, meski memiliki departemen yang berbeda-beda,”ujarnya.

Jadi tanpa kemauan yang keras dalam penegakan hukum, kata Churmen, mekanisme pengawasan terhadap impor produk-produk pertanian, khususnya beras dan gula tidak akan ada gunanya. “Mekanisme pengawasan hanya akan menjadi macan di atas kertas,”tandasnya.

Akibat dari rendahnya perhatian pemerintah, nasib petani Indonesia menjadi tidak menentu di tengah proteksi besar – besaran negara asing, baik yang berkembang maupun sudah maju terhadap industri pertanian mereka.

Sadar akan hal ini, ungkap Churmen, Komisi III DPR RI pun berani pasang badan dengan mengusulkan kepada pemerintah agar bea masuk terhadap impor produk-produk pertanian dinaikkan. Meski berdasarkan ketentuan WTO, kata Churmen, peningkatan bea masuk masih diizinkan sampai 2010, Pemerintah Indonesia justeru ngotot menolak usulan kami.

Atas penolakan itu, pemerintah memberikan alasan sederhana, kata Churmen, kalau tarif impor ditingkatkan akan mengakibatkan inflasi. “Alasan pemerintah ini tentu sangat lemah,”katanya.
 
“Lemah, karena untuk bisa menghindarkan kelangkaan beras, pemerintah bisa membentuk lembaga buffer stock (penyangga beras nasional) sebesar 1 juta ton setahun. Dengan cara ini mana bisa peningkatan tariff impor beras dan gula menyebabkan inflasi,”ujar anggota Komisi III DPR RI yang akan meluncurkan biografinya pada hari Minggu (12/9). 

Di sinilah, Bulog yang berpengalaman, meski sudah menjadi Perusahaan umum, bisa diusulkan untuk menjalankan fungsi ini. Bulog boleh mengambil untung, tapi tidak boleh merugikan petani dan negara,”kata Churmen.(Dul)


Terkait