Warta

Rais Syuriah PWNU Jatim Inginkan Satu Langkah

Ahad, 17 Februari 2008 | 03:04 WIB

Surabaya, NU Online
Adanya salah seorang kader NU yang mengatakan dalam politik NU tidak harus bersatu dan sudah terbiasa dalam perbedaan, mendapatkan tanggapan serius dari PWNU Jawa Timur. Tak kurang dari Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftachul Akhyar, menyatakan sangat menyesalkan pernyataan itu.

Dalam pandangan Kiai Miftah, tidak bisa bersatu dalam langkah sama artinya dengan perpecahan, dan perpecahan itu identik dengan kakalahan. “Saya sangat menyesalkan pernyataan itu,” kata Kiai Miftah saat ditemui NU Online di PWNU Jawa Timur pada Ahad (17/2).<>

Justru dalam pandangan pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Kedungtarukan Surabaya itu, seorang pemimpin yang mengatakan kalimat seperti itu berarti sudah mati jiwa kepemiminannya. “Bagaimana bisa seorang pemimpin mengatakan perpecahan sebagai hal biasa? Padahal perpecahan itu sudah identik dengan kekalahan. Logika dari mana pikiran seperti itu,” sergah Kiai Miftah.

Menantu dari Syekh Masduqi Lasem itu menuturkan, isyarat dari pendirian NU pada tahun 1926 sudah jelas. Di situ dibacakan surat Thaha ayat 17-23, yang mengisahkan tentang tongkat Nabi Musa As. Sedangkan makna tongkat juga sudah mafhum, sebuah komando.

“Kita ini di PWNU sedang berusaha dengan sangat agar Nahdliyin Jawa Timur bisa satu komando, utuh, berjalan seiring dan rukun, kok ada orang bilang perpecahan itu hal yang biasa, sungguh saya sesalkan pernyataan itu,” tandasnya.

Kiai Miftah melanjutkan kisah tongkat Nabi Musa As yang berhubungan dengan pendirian NU. Salah satu fungsi tongkat “sakti” Nabi Musa adalah untuk memukul ular-ular tukang sihir Firaun yang ingin melindungi juragannya dari hadapan Nabi Musa. PWNU Jawa Timur, kata Kiai Miftah, saat ini sedang giat-giatnya menegakkan langkah satu tongkat komando itu. Dengan adanya tongkat komando itu, maka kader-kader yang sudah terlanjur ngulo (menjadi ular) itu nantinya akan bisa kembali dalam satu barisan lagi. Tidak bisa lagi ngulo sendiri-sendiri.

Kalau sampai kader NU berjalan sendiri-sendiri, tentunya yang akan rugi juga semuanya. Tidak hanya kader itu sendiri, tapi juga NU secara keseluruhan. Ibaratnya, orang NU yang punya sawah, tapi orang lain yang akan memanennya. Padahal pelajaran di tempat lain sudah banyak terjadi. “Jangan sampai kita yang kelebihan nishab, tapi malah orang lain yang mengambilnya,” tegasnya dengan nada bersungguh-sungguh.

Di sisi lain, Kiai Miftah menghimbau kepada Banom-Banom NU untuk mengikuti langkah NU sabagai induknya. Sebab ketentuan sudah jelas, Banom, Lembaga dan Lajnah adalah kepanjangan tangan dari NU. Langkah yang ditempuh harus seiring dengan NU, bukan malah menjadi pesaingnya. Kalau mau mengambil langkah-langkah strategis, mereka harus izin lebih dulu pada NU. “Bukan melangkah sendiri tanpa kulanuwun. Di mana tatakrama kader semacam itu?” tanya Kiai Miftah. (sbh)


Terkait