Cerpen

Semangkuk Sroto Kerinduan

Ahad, 28 Juli 2024 | 13:20 WIB

Semangkuk Sroto Kerinduan

Ilustrasi (dinporabudpar.banyumaskab.go.id)

Cerpen: Pensil Kajoe
Aku baru saja menuntaskan makan siang di sebuah warung makan di pinggiran kota Jakarta. Kota ini dianggap sebagai kota harta karun. Hampir sebagian besar penduduk di negeri ini berbondong-bondong datang untuk mengadu nasib, meskipun hanya berbekal modal nekat; asal di mata tetangga terlihat wah.


Sejak pandemi Covid-19 mewabah, tempat ini menjadi sepi tidak seperti dulu selalu ramai dikunjungi oleh para pekerja kantoran atau para buruh pabrik; karena letaknya memang cukup strategis dan harganya terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah.


"Silakan, mau pesan apa?” tanya ibu pemilik warung pada seorang laki-laki dan  seorang anak perempuan kecil yang baru saja masuk dan duduk membelakangiku.

 

Samar-samar kudengar laki-laki itu berbicara pada anak kecil itu, mungkin saja anaknya. Aku tersenyum mendengar percakapan dua orang yang berada di depanku meskipun dengan bahasa yang tak aku mengerti artinya tetapi aku sedikit tahu kalau itu bahasa dari daerah Banjar, di Kalimantan Selatan. Sebab, ada kakak perempuanku yang sekarang tinggal di sana bersama anak dan suaminya. Jadi, aku sedikit tahu potongan-potongan arti dari bahasa ayah dan anak itu.

 

Seperti bukan di tempat sendiri, hidup dan tinggal di desa sapa pakai bicara dengan bahasa Indonesia. Ayah-ibunya pun orang desa, batinku.


Benakku selalu terbayang tentang kampung halaman yang sudah lama kutinggalkan sejak ayah dan ibu bercerai dan memilih kehidupan masing-masing. Ibu menikah lagi dengan orang Sulawesi, sedangkan ayah  memilih menikah dengan perempuan muda yang lebih pantas jadi anaknya, istri baru ayah seumuran adik perempuanku yang meninggal dua tahun lalu, setelah keduanya bercerai.


“Jadinya berapa Bu semuanya?” tanyaku pada Ibu pemilik warung sroto, dalam bahasa daerahku.


“Dua belas ribu saja, Mas,” jawab pemilik warung dengan bahasa daerah juga dengan logat khasnya.


Ibu pemiilik warung sudah kuanggap seperti orang tua keduaku. Beliau telah menjanda, tetapi memutuskan untuk tidak menikah lagi dan lebih memilih tinggal bersama anak laki-lakinya yang turut membantu berjualan di warung makannya.


Di tempat ini seolah aku sedang berada di kampung sendiri yang sudah jarang aku kunjungi. Paling sebulan atau dua bulan sekali aku pulang untuk menziarahi makam adikku, itu pun hanya dua hari saja aku berada di sana.

***


Suatu malam aku bermimpi, almarhumah Ratih, adikku datang menemuiku. Dia mengenakan baju berwarna biru warna kesukaannya berlari-lari kecil sambil memegang leher seekor anak kucing dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya membawa kotak bekas sabun colek yang diisinya dengan ikan asin.


"Mas, tadi aku menemukan seekor kucing di sebelah timur rumah kita. Aku kasihan melihat kucing itu jadi aku bawa ke rumah. Boleh ya?" tanya adikku dari kejauhan.


Aku yang waktu itu sedang memanjat pohon jambu tidak terlalu menghiraukannya yang tetiba saja kaki kirinya menginjak paku berkarat.


"Aaaarhh… Mas, Mas. Kakiku ketusuk paku. Huu…huu…huu."


Teriakan Ratih spontan membuatku kaget dan panik. Aku tidak menyangka kalau hari itu adalah awal petaka adikku satu-satunya pergi untuk selamanya.


Tubuh mungil Ratih yang telah terbungkus kain kafan perlahan dimasukkan ke liang lahat, para penggali kubur saling bergantian menimbun lubang makam adikku. Tanah basah itu diinjak, diratakan dan akhirnya dipasang dua tonggak kayu sebagai tanda bahwa di bawah sana telah dimakamkan jasad seorang gadis kecil. Namanya telah tertulis di kayu yang menjadi penanda nisannya.


Mimpi itu selalu berulang. Di satu sisi, aku senang bisa bertemu dengannya meski lewat mimpi tetapi aku juga merasa bersalah atas kejadian naas kala itu.

***


"Kenapa kok nangis, Mas?” tanya Ibu pemilik warung dalam bahasa Indonesia.


Memang, beliau kadang menggunakan bahasa Indonesia kalau berbicara padaku tetapi aku selalu membalasnya dengan bahasa daerah dari asalku di Banyumas. Bukan berarti aku ini orang yang sok menganut primordialisme, tetapi aku merasa lebih nyaman tidak ada rasa canggung.


"Tidak kenapa-kenapa kok, Bu. Hanya teringat adik saya saja," jawabku dalam bahasa daerahku.


Ibu pemilik warung berjalan mendekat dan duduk di sebelahku, beliau menepuk pundakku.


"Lha, apa sampeyan sudah lama tidak pulang kampung?"

 

Aku menggeleng pelan. Napas berat mengganjal di dada, kepalaku berdenyut-denyut. Mungkin karena efek beberapa malam ini tidak tidur jika sudah terjaga dari mimpi tentang adikku yang berulang.

***


Bus jurusan ke Purwokerto perlahan mulai keluar meninggalkan terminal Pulogebang. Raut wajah Ratih justru lebih sering berlarian di dalam benakku daripada wajah kedua orang tuaku. Aneh, aku justru jauh lebih kangen dengannya yang kini sudah merata tanah.


"Mas, nanti kalau pulang, belian aku boneka ya," suara kecilnya terdengar dari ujung telepon setiap kali tahu kalau aku akan pulang.


Entah sudah berapa banyak boneka yang dia koleksi di dalam lemarinya. Boneka yang sering diajak mengobrol seperti teman sendiri.


"Iya nanti kalau tidak lupa. Soalnya aku sedang banyak pekerjaan," balasku


Terlalu hanyut dalam lamunan, aku sampai tidak sadar kalau kondektur bus sudah berada di sebelahku.


"Tiketnya, Mas."


Pria berseragam cokelat itu pun berpindah ke bangku di depanku.


***


"Kok pulangnya cepat sekali, Mas? Mbok ya seminggu atau sebulan gitu," tanya ibu pemilik warung sambil tangannya sibuk meracik sroto daging sapi pesananku.


"Hanya sebentar Bu," jawabku sambil melepas jaket yang kukenakan.


"Loh apa tidak kangen dengan suasana desa yang masih segar tidak seperti di sini panas, sumuk?" sambungnya sambil berjalan membawa nampan berisi semangkuk sroto yang kupesan.


Aroma daun bawang meruap menelisik hidungku hingga menerbitkan air liur tidak sabar untuk segera menyantap sroto daging kesukaanku.


"Kangen sih kangen, tapi lebih kangen dengan sroto buatan Mbok Tijah," jawabku dalam bahasa dan logat Banyumas.


Mendengar jawabanku pemilik warung itu tertawa. "Njenengan sudah mendatangi bermacam-macam daerah, malah ke luar negeri segala, tapi bahasa Banyumas tetap saja dipakai. Apa tidak gengsi sih, Mas?"


Aku jadi ikut tertawa karena ucapan Mbok Tijah. "Hihihi.. walah, Bu.. Bu... Kula tah anu rumangsa wong lair klekar neng desa, gedhe neng desa, ngombene banyu desa, adus banyu desa, masa iyaha koh nganti kelalen karo basane dhewek ya ora bener. (Waduh Bu, saya selalu merasa lahir di desa, besar di esa, minum air desa, mandi air di desa. Masa sampai lupa dengan bahasa sendiri, ya tidak benar).


Tumiyang, Pekuncen, 10112020


Pensil Kajoe, adalah seorang cerpenis dan penyair sastratama juga bergiat di komunitas sastra, tulisannya tersebar di berbagai media baik online maupun cetak. Dia juga telah menerbitkan sejumlah buku sastra.