Daerah HUT KE-79 RI

Jeritan Petani di HUT RI: Tak Ada Perlindungan Pemerintah, Hasil Panen Murah

Sabtu, 17 Agustus 2024 | 20:00 WIB

Jeritan Petani di HUT RI: Tak Ada Perlindungan Pemerintah, Hasil Panen Murah

Seorang petani di Pati sedang memanen padi dengan kondisi lahan yang kering, Sabtu (17/8/2024). (Foto: NU Online/Solkan)

Pati, NU Online

Menjadi petani bukan sesuatu yang mudah bagi Suhali. Di tengah sukacita merayakan Hari Kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia, petani asal Desa Dukuhmulyo, Jakenan, Pati, Jawa Tengah mengungkapkan bahwa petani harus menghadapi kondisi yang tidak menentu untu memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan sering kekurangan.


“Yang saya rasakan dan alami kurang mampu, serba kurang kalau dipikir, buat makan saja susah,” keluhnya saat ditemui NU Online pada Jumat (16/8/2024) di kediamannya.


Kondisi perekonomian Suhali sama halnya perekonomian para petani Indonesia pada umumnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia harus berjuang keras untuk mencukupi hidup dan kebutuhan lainnya.


“Seperti ketika anak sekolah minta iuaran tidak ada uang, waktu ngalong (menyumbang saat ada acara nikahan atau khitanan), (iuran) kumpulan RT tidak ada uang kadang, seperti itu, hutang tetangga. (Bahkan) punya hutang bank,” papar Suhali.


Dia sendiri tak habis pikir, pertanian sebagai sektor utama penyangga ketahanan pangan nasional, namun nasib petani seolah tidak dihiraukan. Nyaris tidak ada perlindungan pemerintah terhadap petani ketika mereka gagal panen, hasil panen murah, dan terjerat tengkulak.


“Karena pupuk langka, aturan pemerintah, misalnya harga padi rendah tidak diperhatikan. Pemerintah kurang memerhatikan nasib petani, karena harga beras direndahkan saat panen. Kurang semua (perhatian pemerintah), saat waktu memupuk tanaman, pupuk mahal dan langka,” jelas Suhali.


Anak muda tidak tertarik bertani

Ditambah, menurutnya, saat ini tidak sedikit anak-anak muda tidak tertarik menjadi petani karena melihat kondisi dan nasib petani. Menurutnya, dalam pikiran anak muda, petani merupakan profesi yang tidak menjanjikan. Dari musim tanam hingga panen biasanya dibutuhkan waktu tiga bulan, bahkan hasilnya pun kadang tidak seberapa setelah dikurangi modal.


Ia merasa sangat prihatin terkait skema kebijakan dan regulasi pemerintah yang ditujukan kepada petani. Sejak masa kemerdekaan hingga kini, belum ada perubahan signifikan soal nasib petani. Apalagi harga beras saat musim panen terjun bebas, mirisnya pemerintah seringkali mengimpor beras dari luar negeri, padahal mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian.


“Sedih sekali, prihatin banget, harga beras turun, pupuk mahal obat-obatan mahal. Barang pabrik (untuk keperluan pertanian) mahal semua dan barang-barang hasil pertanian (harganya) dimurahkan,” keluhnya. 


Suahli berharap, untuk memajukan Indonesia, pemerintah bisa memulainya dengan memerhatikan nasib rakyat kecil salah satunya petani. Barang-barang hasil pertanian, agar saat dijual harganya relatif stabil, agar petani sejahtera.


“Kebijakan pemerintah harus pro terahadap petani. (Seperti) Pupuk, obat tercukupi dan dibuatkan saluran irigasi yang memadai,” harapnya.


Senada, Damin seorang Petani yang masih tetangga Suhali mengungkapkan keprihatinan serupa. Menjadi petani Indonesia menurut Damin banyak susahnya daripada untungnya.


Menurutnya, pemerintah belum memprioritaskan nasib petani. Karena menurut Damin, seharusnya harga beras stabil baik saat musim panen maupun musim tanam. Hal tersebut terlihat sederhana, namun pemerintah sering kali abai bahkan tidak peduli.


“Yang kami minta, pupuk mudah, obat-obatan jangan terlalu mahal, irigasi harus diperhatikan,” lanjut Damin berharap.