Fragmen

Aksi-aksi Rakyat Surabaya Sepanjang Bulan Oktober (2)

Kamis, 31 Oktober 2019 | 16:59 WIB

Aksi-aksi Rakyat Surabaya Sepanjang Bulan Oktober (2)

Ilustrasi Tentara Keamanan Rakyat (mikecoppin.wordpress.com)

Sebagaimana diketahui, para kiai Nahdlatul Ulama mencetuskan Fatwa Jihad fi Sabilillah dan Resolusi Jihad fi Sabilillah pada tanggal 22 Oktober 1945. Keduanya merupakan upaya para kiai mendukung secara lahir batin kepada perjuangan rakyat Surabaya untuk mempertahakan kemerdekaan. Sebab pada waktu itu, bibit-bibit penjajah Belanda ingin menguasai Indonesia kembali terlihat. Kali ini menyusup melalui tentara Sekutu.
 
Pada tanggal 26 Oktober 1945, terjadi kontak senjata antara rakyat Surabaya dengan Sekutu. Menurut KH Agus Sunyoto pada buku Fatwa dan Resolusi Jihad; Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945, hal itu terjadi karena Sekutu melanggar kesepakatan antara mereka dengan perwakilan rakyat Surabaya.   

Sebelumnya, perwakilan kedua belah pihak bertemu. Pihak Republik Indonesia diwakili Wakil Gubernur Surabaya Soedirman, Doel Arnowo, Wali Kota Radjiman Nasution, dan wakil dari Mustopo, Jenderal Mayor Mohammad. Sementara dari pihak Sekutu adalah A.W.S. Mallaby dan stafnya. Hasil perundingan itu adalah pasukan Brigade 49 boleh menggunakan beberapa bangunan di dalam kota Surabaya. 
 

Selain itu, ada tiga poin yang dihasilkan pertemuan tersebut. Pertama, pasukan Sekutu akan membantu penegakkan hukum, ketertiban, dan kedamaian. Kedua, pelucutan senjata hanya berlaku untuk tentara Jepang. Ketiga, tentara Jepang yang dilucuti akan dipindahkan ke luar melalui laut. 

Namun, pihak Sekutu mengingkari perjanjian tersebut. Persetujuan untuk menempati beberapa bangunan, ternyata mereka bertindak lebih jauh. 

Agus Sunyoto merinci kronologinya. Pada tanggal 25 Oktober 1945, Sekutu mendaratkan pasukan Brigade 49 dari Mahratta dan Rajputan Rifles di Surabya. Keesokan harinya, pagi tanggal 26 Oktober, Brigade 49 bergerak memasuki kota Surabaya dan menempati bangunan-bangunan yang sesuai perundingan.

Namun, mereka melanggar dan bertindak di luar kesepakatan, misalnya, saat memasuki daerah Nyamplungan, satu kolone dari pasukan Mahratta Infantry menangkap pimpinan TKR Nyamplungan dan kemudian menguasai Seksi Polisi Nyamplungan dan Bubutan serta melucuti anggota polisi yang bertugas. Terjadi pula pelanggaran-pelanggaran lain. Hal itu menyebabkan penduduk Surabaya marah.  

Menanggapi itu, di hari yang sama, sekitar pukul 17.00 pasukan TKR Laut dan AMPAL yang mendapat bantuan dari kota mulai menyerang dari jurusan industri Pekulen dan sawah Pulo. Namun, pada saat mereka mendekati pos pertahanan musuh, panser-panser merkea diberrondong senjata-senjata berat pihak Sekutu hingga berbalik arah dan bertahan di pinggir jalan. 

Pada saat seperti itu, suara gemuruh orang banyak, bahkan ada yang berteriak Allahu akbar, datang dari berbagai penjuru Surabaya utara. Menurut Agus Sunyoto, mereka adalah para pemuda dan santri dari kampung-kampung, di antaranya Ampel, Sukadana, Boto Putih, Pekulen Pegirikan, Sawah Pul, Jati Purwo yang dipimpin Achyat Cholil, kader Ansor Nahdlatul Ulama yang aktif di Hizbullah. 

Para pemuda dan santri banyak yang tewas dalam kontak senjata dengan Sekutu. Hal demikian membangkitkan kemarahan para orang tua di kampung-kampung. Mereka turun gelanggang membantu mengepung pos pertahanan Sekutu. Hal serupa terjadi di pos pertahanan Inggris di Keputran. 

Arek-arek Surabaya paham, berperang melawan Sekutu tidak akan menang jika mengandalkan seadanya. Mereka kemudian memutus kabel-kabel listrik  jaringan telepon, aliran air minum, dan menghentikan pasokan gas di daerah pos-pos pertahanan Sekutu.  
 
 
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad