Fragmen

Awal Konsolidasi Organisasi di Tubuh NU

Kamis, 30 Januari 2020 | 13:30 WIB

Awal Konsolidasi Organisasi di Tubuh NU

Penampakan logo pertama Nahdlatul Ulama. (NU Online)

Sejak dilahirkan pada 31 Januari 1926 atau bertepatan pada 16 Rajab 1344 H, organisasi (jam’iyyah) Nahdlatul Ulama baru bisa menjalankan organisasi secara sistematis empat tahun kemudian, tepatnya pada Muktamar ke-5 NU di Pekalongan, Jawa Tengah pada tahun 1930. Penyelenggaraan Muktamar di Pekalongan ini penting, bukan saja berarti telah membuka front baru NU di bagian barat, tetapi juga berbagai persoalan dan agenda penting dirumuskan.

Sejak berdiri, NU belum memiliki divisi yang fokus menangani bidang-bidang tertentu. Pada Muktamar ini pembagian organisasi mulai dipertegas. Berangkat dari situ kemudian dibentuk berbagai lembaga dan lajnah yang menangani berbagai macam tugas. Ada yang menangani bidang umum, bidang dakwah, bidang pendidikan, urusan luar negeri, dan lain sebagainya.

Bidang-bidang strategis sebagai wadah pengabdian kepada masyarakat luas mulai terbentuk dan berjalan dengan baik. Termasuk di bidang ekonomi dan penerjemahan Al-Qur’an. Pesantren juga terus berupaya memperkuat perannya di tengah masyarakat umum. Karena masyarakat juga membutuhkan keberadaan kiai pesantren untuk menyelesaikan problem-problem keumatan.

Selain itu, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) untuk merespon tuntutan rakyat, saat itu dilaksanakan penerjemahan Al-Qur’an, Hadits, dan beberapa kitab penting ke dalam bahasa Nusantara seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bugis, Melayu, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan.

Untuk mengembangkan pemberdayaan ekonomi umat, KH Hasyim Asy’ari mengadakan dialog dengan para saudagar setempat di Pekalongan. Para saudagar itu dipimpin oleh H Ahmad Muhsin yang membicarakan khusus mengenai pengembangan syirkah (koperasi) yang selama ini mengalami hambatan dari bank-bank pemerintah kolonial.

Pengembangan koperasi untuk memperkuat bidang ekonomi ini menjadi perhatian Kiai Hasyim Asy’ari karena memang selama ini para saudagar mempunyai komitmen tinggi terhadap penyelenggaraan Muktamar NU. Forum tertinggi dalam organisasi itu terselenggara dengan meriah walau tanpa bantuan pemerintah karena memang NU bersikap non-kolaboratif dengan kolonial.

Sikap non-kolaboratif dengan pemerintah kolonial dilakukan oleh para kiai NU untuk memberikan perlawanan secara kultural. Juga sebagai energi positif bagi masyarakat secara umum bahwa kondisi penjajahan harus dilepaskan.

Bagi Kiai Hasyim Asy’ari, dalam kondisi terjajah, aktualisasi keimanan seseorang bisa diwujudkan melalui perjuangan membela bangsa dan negara agar rakyat terbebas dari kolonialisme. Dengan kata lain, membela tanah air merupakan kewajiban kaum beragama, tidak hanya Muslim sehingga Resolusi Jihad yang dicetuskan Kiai Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 mampu menggerakkan seluruh rakyat untuk membela tanah airnya.

Sebagai penegasan, simpul yang bisa ditarik dari perjuangan ulama untuk bangkit mengubah tatanan sosial ialah, mereka berusaha menjaga dan merawat tanah air yang berawal dari lingkup lokal. Kondisi dan tatanan kehidupan sosial yang tidak seimbang dan cenderung negatif menggerakkan para ulama untuk melakukan langkah perubahan ke arah yang lebih baik. Tentu selain kewajiban mereka mengamalkan ilmunya setelah bertahun-tahun menimba ilmu di tanah Hijaz, Mekkah dan Madinah.

Semua perjuangan ulama pesantren tidak berangkat dari kemapanan tatanan sosial, tetapi justru sebaliknya, dalam kondisi masyarakat dengan perilaku negatif hampir setiap hari, apalagi tanah air dalam kondisi terjajah. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan ulama mampu membangkitkan masyarakat menjadi lebih baik dan berdaya. Selain itu, pijakan kehidupan masyarakat yang bernama tanah air menjadi kewajiban para ulama untuk menjaga dan merawatnya agar lebih baik.

Semangat menjaga tanah air dari para ulama inilah yang menjadi ‘virus’ positif dalam melakukan langkah awal perlawanan terhadap penjajah yang tidak berperikemanusiaan di tanah air bangsa Indonesia. Pesantren menjadi titik kumpul dimulainya perjuangan membebaskan diri dari kungkungan penjajah. Pemikiran dan sikap kritis tetapi terbuka (inklusif) yang ditanamkan para ulama kepada para santri menjadi motor pergerakan nasional melawan penjajah dalam semangat cinta tanah air (hubbul wathon).

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi