Fragmen HUT KE-77 RI

Bara dalam Sekam, Keturunan Pejuang NU Terus Menyimpan Rencana Perlawanan

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 01:12 WIB

Bara dalam Sekam, Keturunan Pejuang NU Terus Menyimpan Rencana Perlawanan

9 Pahlwan Nasional dari Nahdlatul Ulama (Ilustrasi: MZ)

Benih-benih kemunduran Islam mulai tampak sejak fase kedua dari periode Islam klasik (1000-1250 M). Puncak kemunduran terjadi awal abad ke-17 dan terus berlangsung hingga abad ke-20. Sebelumnya dalam kurun 5 abad, tepatnya permulaan abad ke-8 hingga akhir abad-ke 13 Masehi, Islam dengan peradaban luhurnya memuncaki masa kejayaan (the Islamic Goden Age). 

 

Situasi sulit yang dihadapi umat Islam mampu dimanfaatkan bangsa-bangsa Barat. Dalam kondisi turbulensi seperti itu, umat Islam tak mungkin melakukan pengembangan-pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mempertahankan hidup saja sangat susah. Kesengsaraan lahir dan batin dialami. Kemudian bertolak dari ajaran agama dan rasa cinta pada tanah airnya, umat Islam berupaya bangkit melakukan perlawanan, berusaha melepaskan diri dari kerangkeng penjajahan. Termasuk bangsa Indonesia. 

 

Namun, bangsa penjajah selalu punya akal melanggenggkan kekuasaannya dengan beragam cara, mulai dengan persenjataan, pengetahuan, dan budaya hingga mengadu domba sesama bangsa jajahan. Penjajahan bangsa Barat tak henti, dan berlangsung ratusan tahun. Namun, perjuangan untuk merebut kemerdekaan itu seperti diwariskan, terus berlangsung dengan kadar, tokoh, dan strategi berbeda. 

 

Pada awal abad ke-20, perjuangan bangsa Indonesia mengalami perubahan signifikan. Semula mengandalkan perlawan fisik, bergeser pada jalur pendidikan dan organisasi. Para pelopornya adalah kalangan terdidik sekolahan Belanda dan pesantren lokal serta lulusan Timur Tengah. Di antara organisasi yang berdiri saat itu adalah Nahdlatul Ulama (NU), yaitu pada 31 Januari 1926. 

 

Jika dilihat konteksnya, situasi nasional dan internasional pada masa itu, setidaknya ada dua motivasi para kiai mendirikan NU, yaitu agama dan nasionalisme. Sebetulnya bagi kalangan NU, dua hal ini tidak dipisahkan. Di dalam agama ada nilai-nilai nasionalisme atau cinta tanah air. Sebaliknya, nasionalisme merupakan bagian dari agama (iman). Di kalangan pesantren populer slogan hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air sebagian dari iman. Ketua Umum PBNU 2010-2021 KH Said Aqil Siroj menafsirkannya dengan nasionalisme sebagian dari iman. Namun, untuk memudahkan pembahasan, dua hal ini disusun secara terpisah.

 

Pendiri NU Keturunan Pengusir Penjajah

Tanpa mengecilkan peran kalangan lain, sejarah perlawanan bangsa Indonesia dilakukan kalangan umat Islam yang terdiri dari kiai, santri, para sultan, dan masyarakat. Misalnya selama abad ke-19 saja, penjajah Belanda menghadapi pemberontakan-pemberontakan sebagai “perang sabil” atas nama Islam. Pada masa ini terjadi perang terlama di Aceh dari tahun 1871-1912, Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah. Semua pemberontakan itu berhasil ditumpas Belanda. Namun tak sedikit kerugian di kedua belah pihak. Pada Perang Diponegoro misalnya, penduduk Jawa yang meninggal sebanyak 200.000 orang, sementara tentara 15.000 orang (Sekar Kinasih, Berapa Banyak Keuntungan Inggris dan Belanda dari Penjajahan? Tirto.id, 2021). Kemudian terjadi pula perang di Banten pada 1988 yang juga berhasil ditumpas. 

 

Namun, perang itu tak benar-benar berhenti sama sekali seperti bara dalam sekam. Ahmad Ardaby Darban, dalam Islam di Tengah Perjuangan Bangsa Indonesia (1990) menyebut, para keturunan pejuang selalu menyimpan rencana meneruskan perlawanan pendahulunya meskipun dengan cara yang berbeda dan berantai pula turun-temurun. Ulama-ulama menggerakkan santri dan rakyat-rakyat pedesaan. Mungkin tanpa pergerakan mereka sudah lama kebangsaan (nasionalisme) yang sebenarnya lenyap dari Indonesia. (Pernyataan Douwes Dekker yang dikutip B.H.M. Vlekke, Nusantara a History of Indonesia: 1959).

 

Karena keadaan terus berubah, tantangannya pun berbeda, termasuk para kiai bergerak dalam menyebarkan Islam dan merebut kemerdekaan pun berubah juga. Jika sebelumnya hanya melalui pesantren dan bergerak sendiri-sendiri, para kiai kemudian mencoba mendirikan organisasi, Nahdlatul Ulama.


Sebagai bukti para pendiri dan pengurus NU merupakan pelanjut perjuangan mengusir penjajah misalanya dari segi penamaan organisasi. Apabila diperhatikan, nama Nahdlatul Ulama berarti kebangkitan ulama, sejalan dengan kondisi perjuangan umat Islam saat itu, yakni sedang dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional.


Ditilik dari sisi tokoh pendiri, KH Abdul Wahab Chasbullah dan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari leluhurnya menyatu pada sosok KH Shihah. Dia adalah prajurit Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke arah timur. Di Banten, KH Syam’un dan KH Abdul Latif, masing-masing leluhurnya merupakan pelaku pemberontakan petani pada 1888. Di Cirebon, KH Abbas Buntet merupakan salah seorang yang berperang langsung pada 10 November di Surabaya. Di Tasikmalaya, KH Zainal Musthafa gugur saat melawan Jepang. 

 

Selain itu, bisa pula dilihat dari pergerakan para tokohnya, baik sebelum, menjelang, serta setelah kemerdekaan Indonesia. 

 

Pertama, sebelum kemerdekaan. KH Wahab Chasbullah telah mendirikan Nahdlatul Wathan, Tashwirul Afkar, Syubanul Wathan dan mengadakan kursus masail diniyah bagi pemuda pembela mazhab (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)

 

KH Wahab Chasbullah pada masa itu juga menciptakan lagu Ya Lal Wathon, sebuah ekspresi nasionalisme kalangan pesantren, "Pusaka hati wahai tanah airku/Cintamu dalam imanku/Jangan halangkan nasibmu/Bangkitlah, hai bangsaku!/Indonesia negeriku/Engkau panji martabatku/Siapa datang mengancammu/’Kan binasa di bawah dulimu!”

 

Ya Lal Wathon menjadi nyanyian wajib para pemuda Nahdlatul Wathan gemblengan KH Wahab Chasbullah. Mereka dididik menjadi pemuda berilmu dan mencintai tanah airnya. Setiap hendak belajar mereka harus menyanyikan lagu itu. KH Maimoen Zubair, salah seorang murid KH Wahab Chasbullah pada 1934 yang nyantri dan belajar di sekolah Syubbaanul Wathan mengaku setiap hari sebelum masuk kelas murid-murid diwajibkan menyanyikan lagu itu (KH Yahya C Staquf, ‘Yaa Lal Wathan’, Lagu Patriotis Karya KH Wahab Hasbullah).

 

Lalu, sehari sebelum pertemuan untuk mendirikan NU di Kertopaten, Surabaya, terjadi dialog antara KH Abdul Wahab Chasbullah dengan KH Abdulhalim Leuwimunding. KH Abdulhalim bertanya, apakah organisasi yang akan didirikan para kiai itu memiliki tujuan kemerdekaan? Kiai Wahab menjawab "iya, umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka" (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010).

 

Kita juga bisa menilai dari pendapat KH Mahfudz Shiddiq pada 1936. Ia mengungkapkan bahwa persatuan yang sudah digalang Nahdlatul Ulama itu akan dipergunakan untuk: 

  • Pada umat Islam dan agama Islam sebagaimana sudah terancang di dalam kitab-kitab yang mana yang terlebih penting dan mana yang sudah bisa dijalankan.
  • Tanah Air kita Indonesia khususnya dan tanah air umat Islam seluruhnya. Kita harus meminjamkan perhatian kita pada Tanah Air kita Indonesia bukanlah semata-semata karena kebangsaan atau karena keindonesiaan, tetapi kita perhatikan karena perhubungannya nasib umat Islam Indonesia dan tanah airnya itu tak dapat diceraikan. Kemakmuran Tanah Air kita berartilah kemakmuran umat Islamnya, dan kemalangan Tanah Air kita berati kemalangan kita (Berita Nahdlatoel Oelama, 1936)
 

Kedua, beberapa bulan selepas kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak otomatis mendapatkan ketenangan. Penjajah berusaha datang kembali dalam bentuk pasukan Sekutu yang akan diboncengi tentara NICA. NU meresponsnya dengan mengundang konsul-konsul di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar Ansor Nahdlatul Ulama (PB ANO atau sekarang disebut Gerakan Pemuda Ansor) di Jalan Bubutan Vl/Z Surabaya. 

 

Waktu itu NU mengeluarkan Fatwa Jihad fi Sabilillah dan Resolusi Jihad fi Sabilillah pada 22 Oktober 1945. Perbedaan kedunya adalah yang pertama disampaikan kepada anggota-anggota NU dan umat Islam secara umum, sementara yang kedua disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang saat itu baru dua bulan diproklamasikan. 

 

Malam hari pada 21 Oktober 1945, Rais Akbar PBNU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Pada pagi harinya, tanggal 22 Oktober 1945, PBNU mengadakan rapat pleno yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah yang mengambil keputusan tentang, pertama, jihad fi sabilillah dalam membela tanah air dan bangsa yang diserukan kepada umat Islam. Kedua, menyerukan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia. 

 

Selain itu, bisa dilihat pula peran para tokoh NU yang mendapat pengakuan negara dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Meskipun yang gugur sangat banyak jumlahnya, tapi sampai saat ini hanya 9 tokoh NU yang ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan. 

 

Pertama, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 17 November 1964. Kedua, KH Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 17 November 1960. Ketiga, KH Zainul Arifin ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 4 Maret 1963. Keempat, KH Zainal Musthafa ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada1972.

 

Pada 8 November 2011, tokoh NU kembali ditetapkan sebagai pahlawan nasional, KH Idham Chalid. Kemudian pada 19 Desember 2016, pemerintah mengabadikan wajahnya pada uang kertas Rp 5 ribu.

 

KH Abdul Wahab Chasbullah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2014. KH As’ad Syamsul Arifin menyusul ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 9 November 2016. Sementara KH Syam’un ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2018, dan KH Masykur ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2019.

 

Abdullah Alawi, Pemerhati kajian sejarah tinggal di Bandung