Fragmen

Fondasi Kokoh itu Bernama KH Wahab Chasbullah

Senin, 31 Agustus 2020 | 03:00 WIB

Fondasi Kokoh itu Bernama KH Wahab Chasbullah

KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971).

Secara umum perjuangan para ulama dari kalangan pesantren dalam memperbaiki kehidupan agama, bangsa, dan negara tanpa memperhitungkan pamrih duniawi. Bukan berarti tidak butuh materi-materi dunia, tetapi kebaikan kondisi dan kemaslahatan umat adalah nomor satu. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penting fondasi pergerakan nasional untuk meraih kemerdekaan dari belenggu penjajahan.


Fondasi-fondasi yang digagas, digerakkan, dan diperjuangkan para kiai dalam upaya memperbaiki kehidupan rakyat di tengah ketidakperikemanusiaan penjajah sangat jelas. Terlebih dahulu para kiai membangunkan kesadaran rakyat akan pentingnya ilmu. Kemudian membangkitkan spirit perjuangan untuk melindungi jiwa, raga, dan tanah air.


Terkait pentingnya ilmu ini, Muhammad Asad Syihab dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari yang ditulisnya mencatat bahwa Hadhratussyekh pulang ke Tanah Air sehabis menuntut ilmu dari Makkah tidak membawa gelar besar yang kosong, tidak pula membawa harta dunia yang bertumpuk. Namun kembali di dadanya ilmu yang bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi bimbingan dan pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan ruh Islam.


KH Hasyim Asy’ari berpesan: “Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” (Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri, 1994: 18)


Begitu juga dengan perjuangan lahir dan batin yang dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Kebutuhan akan pentingnya pendidikan untuk menunjang pergerakan nasional juga dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Pada 1916 ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Chasbullah menyadari bahwa perjuangan di ranah politik tidak akan maksimal, terutama dalam mempersiapkan generasi muda sehingga ia mendirikan Nahdlatul Wathan.


Pada 1916 juga, Nahdlatul Wathan (Pergerakan Cinta Tanah Air) resmi mendapatkan Rechtspersoon (badan hukum) sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk menggembleng nasionalisme para pemuda. Nahdlatul Wathan digawangi oleh KH Abdul Kahar sebagai Direktur, KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan), dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.


Nahdlatul Wathan merupakan upaya Kiai Wahab dan kawan-kawan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan yang kuat di dada para pemuda melalui pendidikan. Berangkat dari misi besar tersebut, Kiai Wahab menciptakan syair Ya Ahlal Wathan yang kini kita kenal dengan Ya Lal Wathan. Syair ini menjadi lagu wajib yang harus didengungkan sebelum memulai pelajaran di kelas, karena saat itu memang sudah diterapkan sistem klasikal dengan kurikulum 100 persen agama.


Madrasah Nahdlatul Wathan juga berkembang pesat di setiap cabang NU. Di jawa Barat berpusat di Madrasah Mathla’ul Anwar Menes, Banten. Di Jawa Tengah berpusat di Nahdlatul Wathan di Jomblangan Kidul, Semarang. Sedangkan di Jawa Timur berpusat di Surabaya dengan cabang-cabangnya yang tersebar luas di Jombang, Gresik, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, dan kota-kota lainnya.


Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dan generasi muda dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan di mana pun  sehingga cita-cita luhur pendiri bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak pernah surut.


Kiai Wahab Chasbullah juga merupakan inisiator gerakan pemuda yang dipersiapkan untuk berjuang dan mengisi kemerdekaan. Gerakan pemuda memiliki peran penting dalam pergerakan nasional di tengah Indonesia masih dalam kondisi terjajah. Jiwa, semangat, dan pemikiran mereka dibutuhkan meskipun harus ada motor penggerak bagi mereka agar energi perjuangannya tumbuh. Semangat menjaga dan mencintai tanah air harus ditanamkan di dada mereka. Langkah ini bisa dilakukan diantaranya oleh orang yang lebih tua dan telah makan garam dalam pergerakan nasional melawan penjajah.


Gelora dan semangat perjuangan mereka tidak terlepas dari benih-benih pergerakan yang dilakukan oleh para kiai jauh sebelum proklamasi kemerdekaan tercapai bangsa Indonesia dengan menancapkan ruh cinta tanah air kepada para generasi muda bangsa. Untuk ini, Kiai Wahab Chasbullah mendirikan gerakan pemuda bernama Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air) melalui Perguruan Nahdlatul Wathan yang didirikannya pada 1916 itu.


Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar (gerakan pencerahan) yang berdiri tahun 1919 dan Nahdlatut Tujjar (gerakan kemandirian ekonomi) setahun sebelumnya yaitu 1918.


Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan kursus Masail Diniyyah bagi para ulama muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.


Tidak bisa dipungkiri, semangat cinta tanah air dari sang inisiator gerakan pemuda sekaligus sang arsitek pergerakan nasional Kiai Wahab Chasbullah inilah yang sedikit banyak menginspirasi dan menggerakkan para pemuda sesudahnya dalam forum sumpah pemuda pada 1928, dua tahun setelah NU berdiri pada 1926 di Surabaya. Berdirinya NU sendiri merupakan puncak pergerakan Kiai Wahab yang sebelumnya mendirikan sejumlah perkumpulan sebagai embrio lahirnya Nahdlatul Ulama.


Soal diplomasi ke dunia internasional, para kiai juga memiliki kekokohan dalam pemikiran dan gerakan. Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) mencatat bahwa KH Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926.


Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”.


Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkati. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berakhir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut.


Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari.


Perhimpunan kaum saudagar (Nahdlatut Tujjar) yang sebelumnya telah terbentuk berhasil mendanai perjalanan delegasi NU atau dikenal sebagai Komite Hijaz untuk bernegosiasi dengan Raja Saudi agar kebebasan bermazhab di Haramain tetap diberlakukan sehingga jangan sampai diseragamkan, khususnya ketika Bani Saud dari kelompok Salafi Wahabi mengambil tampuk pengelolaan negara di Arab Saudi.


Bahkan Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menjelaskan bahwa ketika Nahdlatul Ulama sudah berdiri pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344, seluruh kegiatan muktamar, pendidikan, dan acara-acara yang berkaitan dengan NU didanai oleh Nahdlatut Tujjar.


Sejak berdirinya gerakan kemandirian dan kedaulatan ekonomi para kiai itu, kalangan pesantren tidak mau menerima bantuan sedikit pun dari penjajah Belanda dan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan perekonomian masyarakat secara mandiri. Sebuah fondasi kedaulatan yang tidak main-main dari para kiai.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon