Fragmen

Gus Dur dan Sikap Murah Hatinya

Kamis, 31 Oktober 2019 | 15:15 WIB

Gus Dur dan Sikap Murah Hatinya

KH Abdurrahman Wahid (Foto: Pojok Gus Dur)

Indonesia pernah memiliki dua Cendekiawan Muslim terkemuka, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Meskipun kerap berbeda pandangan politik di masa Orde Baru, keduanya memiliki pemikiran progresif dan berhasil meletakkan fondasi pembaruan pemikiran Islam meskipun berangkat dari latar belakang kelimuan berbeda. Gus Dur kental dengan tradisi kelimuan pesantren apapun bacaannya, sedangkan Cak Nur yang lulusan Chicago University dengan modernisme Islamnya.

Namun, perbedaan pandangan tersebut tidak membuat Gus Dur kehilangan humanisme dan empatinya. Terbukti setelah Soeharto lengser pada 1998, tidak ada lagi ketegangan antara keduanya. Walaupun Cak Nur mendukung Habibie, dan Gus Dur menentanga Habibie, tapi hal itu tidak berlangsung lama.

Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mencatat, suatu ketika Cak Nur sering didera sakit dan harus dirawat di Singapura. Selama dirawat di negeri singa itu, Gus Dur menengok Cak Nur hingga tiga kali.
 
 
Saat Gus Dur membesuk ke rumah sakit di mana Cak Nur dirawat, Gus Dur bertemu dengan Nellu, Direktur Bank Mandiri. Dalam pertemuan dengan Nellu itu, Gus Dur meminta Nellu untuk membantu pengobatan Cak Nur.

Tidak lama kemudian, biaya rumah sakit Cak Nur dibayar melalui BRI Cabang Singapura saat itu. Ketika Pimpinan Bank di sana menanyakan bagaimana menutupnya, Nellu hanya bilang cek sekarang uang gantinya sudah masuk dari Jakarta.

Menurut pengakuan salah seorang sahabat Gus Dur, Imam Mudzakkir (2012), kepedulian Gus Dur pada lawan dan kawan ditunjukkan kapan ketika kapan saja dibutuhkan. Tidak harus diminta, tetapi kepeduliannya terhadap sesama mengundang Gus Dur untuk membantunya secara ikhlas. Bahkan kerap yang dibantu tidak tahu bahwa yang membiayai pengobatan itu Gus Dur.

Dalam politik, siapa pun bisa bersitegang dengan orang lain karena berbeda pilihan dan pandangan. Keteladanan juga bisa masyarakat ambil ketika Gus Dur dan Bacharuddin Jusuf Habibie bersitegang. Keduanya berseberangan secara politik terutama ketika Habibie bersama Soeharto mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990 yang menempatkan Habibie sebagai ketua umum pertamanya.

Dengan kepemimpinan Habibie dan peran Soeharto di dalamnya, ICMI menjelma seolah menjadi organisasi penguasa. Kondisi demikian membuat ICMI bisa menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan organisasi swasta tersebut. Penggunaan fasilitas negara oleh ICMI terlihat ketika mereka menempati berbagai kantor departemen sebagai kantornya.

Bukan hanya itu, bahkan ICMI menggunakan dana negara untuk setiap kegiatannya serta merektur pegawai dan pejabat pemerintahan sebagai anggoatanya. Dengan demikian, siapa saja yang masuk ICMI karir politik dan jabatannya di pemerintahan bakal lancar. Sebaliknya, yang menentang bakal bernasib susah. Tak pelak kebijakan tersebut ditentang Gus Dur karena dianggap diskriminatif dan sektarian.

Saat Presiden Soeharto lengser, ICMI yang terlalu menggantungkan diri pada fasilitas negara dipaksa mengembalikan seluruh aset negara yang digunakan oleh organisasi. ICMI tenggelam menjadi organisasi biasa yang tadinya cukup ditakuti. Namun, secara pribadi Gus Dur memiliki empati yang tinggi terhadap bekas rivalnya, Habibie.

Setelah dilantik menjadi Presiden RI pada 1999 Gus Dur langsung mengunjungi Habibie di rumahnya. Tidak hanya itu, ketika istri Habibie, Hasri Ainun Besari dirawat di Belgia, Gus Dur menjenguknya setelah perjalanan dari memenuhi undangan seminar di Jerman dan Belgia saat itu. Tak pelak Habibie saat itu kaget melihat Gus Dur rela menengok keluarganya di Brussel. Gus Dur diterima dengan hangat di tengah kondisi cuaca dingin di kota kecil tersebut.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi