Fragmen

Keteguhan Para Kiai Melawan Penjajah Belanda

Sabtu, 30 Januari 2021 | 15:10 WIB

Keteguhan Para Kiai Melawan Penjajah Belanda

Ilustrasi forum pertemuan. nampak KH Wahab Chasbullah, (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)

Kolonialis Belanda terus menyoroti para kiai pesantren sekaligus memata-matai setiap gerak-gerik tokoh pesantren. Bagi penjajah Belanda, kalangan pesantren adalah ancaman eksistensi pemerintah kolonial Belanda saat itu. Apalagi para kiai pesantren telah mendeklarasikan berdirinya NU.


NU menjadi organisasi besar dalam waktu cepat. Sejak didirikan tahun 1926, maka tahun 1935 sudah berdiri cabang di berbagai daerah baik di Sumatera maupun Kalimantan. Karena itu pada tahun 1935 sudah bisa menyelenggarakan Muktamar NU di tanah Borneo itu.


Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menjelaskan, pada waktu itu jarak antara Jawa dengan Kalimantan masih cukup sulit ditempuh karena minimnya sarana transportasi, hanya ada jalur laut itupun tidak setiap hari. Ketika menghadiri Mukamar tersebut para pengurus PBNU seperti KH Mahfudz Shiddiq, KH Abdullah Ubaid dan lain sebagainya, berangkat dari Surabaya ke Banjarmasin dengan kapal laut hanya menjadi penumpang dek, seperti kaum kebanyakan.


Padahal sebagai penumpang dek tidurnya bergelimpangan di lorong, mereka harus ngantri untuk mendapat ransum makanan masing-masing itu pun hanya berlauk ikan asin. Ada seorang santri yang bertanya; kenapa kiai tidak naik kapal kelas satu yang nyaman, toh sebagai Pengurus Besar bisa minta dispensasi pada pemerintah.


“Apa gunanya tidur di kamar bersama Belanda yang angkuh dan sombong, tetapi harus berpisah dengan bangsa sendiri, yang penuh keramahan, kejujuran dan kesederhanaan,” kata Kiai Abdullah.


Dengan hidup sederhana kita bisa mandiri, dengan kemandirian itulah kita bisa menyebarkan NU sesuai dengan rencana kita sendiri, tanpa campur tangan Belanda. Mereka selalu berharap kita tergantung kepadanya, tetapi kita menghindar.


Ini dicontohkan Kiai Hasyim dan yang lain-lain”. Bahkan dalam Muktamar di Menes beberapa pengurus NU beserta santrinya pergi ke tenmpat Muktamar dengan mengendarai sepeda motor sendiri. Dalam melakukan tugasnya para pengurus PBNU di kantor pusat Surabaya ketika berkunjung ka Batavia hanya menumpang kereta kelas dua bahkan kelas tiga.


Itupin sering tidak kebagian tempat kursi sehingga hanya duduk di bordes, yang panas dan bising bersama para pedagang dan petani. Militansi dan kesederhanaan melekat dalam pribadi para aktivis NU saat itu, menjadikan NU sangat maju. NU menjadi rujukan dan panutan bagi umat Islam.


Perlawanan terhadap penjajah Belanda merupakan perjuangan panjang bangsa Indonesia smenejak zaman kerajaan Islam dan masyarakat Muslim tersebar luas di Nusantara. Kondisi keterjajahan ini disadari betul olah KH Hasyim Asy’ari sehingga beliau bertekad membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme.


Dalam kondisi terjajah itu, keyakinan beragama rawan terombang-ambing sehingga KH Hasyim Asy’ari kembali bertekad memperkuat akidah dan syariat Islam kepada Muslim Nusantara yang terlebih dahulu sudah dilakukan oleh Wali Songo. Tentu saja sembari berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari kungkungan penjajahan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dengan ilmu.


Dari sini KH Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang terus mendorong rakyat untuk tekun belajar dan menuntut ilmu. Beliau belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Tidak cukup menggali ilmu di dalam negeri, beliau juga memperkuat keilmuannya dengan belajar di Tanah Hijaz, Makkah.


Setelah beberap tahun menuntut ilmu di Makkah, Muhammad Asad Syihab dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari yang ditulisnya mencatat bahwa Hadhratussyekh pulang ke Tanah Air tidak membawa gelar besar yang kosong, tidak pula membawa harta dunia yang bertumpuk, namun kembali di dadanya ilmu yang bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi bimbingan dan pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan ruh Islam.


KH Hasyim Asy’ari berpesan: “Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” (Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri, 1994: 18)


Muhammad Asad Syihab dalam bukunya itu menyebut Kiai Hasyim Asy’ari dengan sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi Timur Tengah, istilah tersebut diberikan kepada orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang tinggi.


Meskipun Kiai Hasyim Asy’ari mumpuni dalam ilmu agama, tetapi ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.


Pertemuan tersebut terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.


Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon