Fragmen

Ketika Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari Berfatwa Haji Tidak Wajib

Selasa, 14 Juni 2022 | 20:00 WIB

Ketika Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari Berfatwa Haji Tidak Wajib

Rais Akbar NU KH Hasyim Asyari melihat hal yang jauh lebih penting ketimbang ibadah haji yang kemaslahatannya hanya untuk pribadi.

Tak ada data resmi mengenai jumlah jamaah haji dari Indonesia di tahun 1941 M sampai 1949 atau 1359 H sampai 1368 H. Tidak diketahui dengan pasti, ada tidaknya orang Indonesia yang berhaji di masa itu. Kemungkinan ada yang berangkat ke tanah suci barangkali masih terbuka. Namun, sangat kecil kemungkinannya mengingat lautan juga dijaga oleh pasukan Angkatan Laut penjajah. Pasalnya, di masa-masa tersebut pecah perang dunia kedua.


Selain perang yang sedemikian berkecamuk, Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2019: 72), mencatat bahwa kelangkaan jamaah haji di tahun tersebut karena faktor dorongan kuat agama. Sebab, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin tertinggi Masyumi mengeluarkan fatwa tidak wajib berhaji di tahun 1947.


“Haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu, tidak wajib pergi haji di mana berlaku fardhu ain bagi umat Islam dalam keadaan melakukan perang melawan penjajahan bangsa dan agama.” (Mursyidi dan Harahap, 1928: 28 dalam Naik Haji di Masa Silam, 2019: 72).


Sebagaimana diketahui, haji merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam yang mampu. Kemampuan ini diukur dari kondisi fisik, finansial, pengetahuan, dan keluangan waktu untuk mengerjakannya. Namun sebagaimana ibadah lainnya, hukum berhaji juga dapat berubah sesuai illat atau sebab yang melatarinya.


Keluarnya fatwa dari ulama besar sekaliber Kiai Hasyim tentu saja bukan tanpa alasan kuat dan dasar pijakan yang kokoh. Rais Akbar NU itu melihat hal yang jauh lebih penting ketimbang sekadar melaksanakan ibadah haji yang kemaslahatannya hanya untuk pribadi. Sementara, ada hal yang lebih besar manfaatnya karena bisa dirasakan oleh orang banyak, yaitu kemerdekaan negara Indonesia yang sepenuhnya.


Ya, fatwa tidak wajib berhaji itu ditengarai kondisi sosial politik yang mewajibkan umat Islam untuk mengangkat senjata dalam rangka melawan penjajah demi kemerdekaan sepenuhnya untuk negara Indonesia. Sebagaimana diketahui, pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad yang mewajibkan seluruh umat Islam maju ke medan tempur dalam peperangan di radius diperbolehkannya shalat untuk diqashar.


Untuk menghentikan perlawanan perang yang sedemikian kuat, perwakilan Belanda di Indonesia Van der Plas menyediakan fasilitas pemberangkatan haji dan menjamin keamanannya. Tawaran demikian memang menggoda umat Islam Indonesia pada masanya. Karenanya, ada banyak orang juga yang tertarik untuk mendaftarkan dirinya untuk berangkat ke tanah suci. Namun, adanya fatwa Kiai Hasyim mengenai tidak wajib berhaji dan fardhu ain berperang membuat tawaran tersebut tidak berarti.


Abdul Mun’im DZ dalam Kiai Hasyim Mengharamkan Haji Politis dalam Fragmen Sejarah NU (2016: 271) mencatat ada dua hal yang menyebabkan pengeluaran fatwa itu. Pertama, Indonesia belum memiliki kapal untuk memberangkatkan rakyatnya berhaji. Jika berhaji dengan menggunakan fasilitas dari Belanda yang notabene adalah penjajah akan memberikan keuntungan bagi mereka dari sisi ekonomi. Kedua, hal yang lebih para adalah keuntungan dari sisi politisnya, yakni keterpengaruhan masyarakat Indonesia lebih berpihak kepada pihak Belanda. Hal ini tentu akan menghambat laju kemerdekaan Indonesia sepenuhnya.


Selain itu, Hadratussyekh dalam hal ini tampak menerapkan konsep dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yakni mendahulukan untuk menghindarkan kerusakan ketimbang meraih kemaslahatan. Konteks perang tersebut, menghindarkan Indonesia dari pecah dan kembali terjajah tentu harus lebih didahulukan daripada melaksanakan haji itu sendiri.


Tak ayal, dengan adanya fatwa tersebut, umat Islam siaga dan bergerak melakukan perlawanan terhadap Agresi Militer Beladan pertama pada tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda kedua pada tahun 1948 sehingga saat ini, bangsa Indonesia bisa merdeka sepenuhnya.


Syakir NF