Fragmen

LINU, Perekat NU antara Pengurus dan Anggota

NU Online  ·  Senin, 25 Juni 2018 | 19:00 WIB

Setelah NU berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926, organisasi para kiai ini berusaha secepat mungkin untuk melebarkan sayapnya. Pada muktamar ketiga, di Surabaya, tahun 1927, NU membentuk Lajnatun Nashihin. Lembaga iniditerjemahkan oleh Choirul Anam sebagai Komisi Propaganda. Tujuannya untuk menyebarkan NU ke daerah-daerah. 

Komisi yang beranggota sembilan kiai ini dipimpin langsung Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Masing-masing memiliki tugas menyebarkan NU ke timur, ke tengah dan ke barat.

Setelah konsolidasi dan fokus mendirikan cabang-cabang NU kemudian memperkokohnya dengan beragam pertemuan dan pemahaman tentang gerak dan tujuan organisasi para ulama itu. 

Untuk tujuan itu, NU berusaha memperat hubungan antarwarga NU, baik yang di kampung desa, maupun kota, dengan cara mengadakan pertemuan setiap hari Jum’at atau seminggu sekali. Pertemuan semacam itu diadakan di semua tingkatan jajaran NU, dari sejak hoopdbestuur (pengurus besar) sampai dengan pengurus ranting (kring). 

Isi pertemuan itu sendiri, biasanya berupa pengajian keagamaan yang dipimpin seorang kiai, kemudian diteruskan dengan tahlilan untuk arwah warga NU setempat yang telah meninggal dunia. 

Setiap tanggal 15 bulan qomariyah (tahun hijriyah) juga diadakan pertemuan antarkampung guna mendengarkan pcmbacaan brosur LINU (Lailalatul Ijtima NU). Dalam brosur LINU tertulis nama-nama warga NU yang telah meninggal dunia dari berbagai daerah. Brosur itu sendiri dikeluarkan oleh hoopdbestuur NU secata rutin dan teratur.

Sehabis pembacaan nama-nama almarhum seorang kiai tampil memimpin shalat ghaib buat para mayit. Dan setelah itu dilangsunkaan tahlilan seperti biasa. Juga  tidak jarang dalam pertemuan itu diselipkan pengumuman mengenai hasil-hasil muktamar NU. Dengan demikian hubungan sosial antarpengurus dan warga NU menjadi erat dan tak terpisahkan.

Lailalatul Ijtima NU terus berlangsung hingga kini. Di Lombok Tengah, misalnya di Desa Bonder, kegiatan tersebut sudah sangat berakar. Warga sekitar sudah tidak mengetahui lagi bahwa LINU adalah kegiatan sebuah organisasi karena mereka mengenal kegiatan tersebut sejak lahir, melanjutkan tradisi dari lelhurnya. (Abdullah Alawi)