Fragmen

Mengenal Laskar Asybal Bentukan KH Abbas Abdul Jamil Buntet

Senin, 19 Agustus 2024 | 07:00 WIB

Mengenal Laskar Asybal Bentukan KH Abbas Abdul Jamil Buntet

KH Abbas Abdul Jamil Buntet. (Foto: dok. Buntet Pesantren)

Sudah 79 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan sejumlah negara, mulai Belanda, Portugis, Jepang, hingga Inggris selama beratus-ratus tahun. Hal tersebut berkat perjuangan tiada henti dari segenap bangsa yang menyisihkan segala perbedaan dan mementingkan persatuan.


Cita-cita menjadi bangsa merdeka menggerakkan semua elemen bersatu mengerahkan segala daya upayanya. Hal itu tidak lain demi dapat hidup mandiri sebagai sebuah bangsa yang mengatur sendiri pemerintahannya tanpa bayang-bayang koloni yang demikian menyiksa sekian lamanya.


Di antara sekian banyak elemen itu, adalah komunitas pesantren yang juga turut andil dalam memerdekakan negeri ini dari belenggu penjajahan. Pesantren menjadi basis perjuangan yang nyata dalam melakukan perlawanan terhadap agresi para penjajah.


Para kiai sebagai pimpinan pesantren bukan saja bergerak memberikan pendidikan agama bagi para santrinya agar memahami dan menerapkan syariat Islam dalam kehidupannya. Lebih dari itu, para santri itu juga mereka bentuk sebagai pasukan untuk mempertahankan diri dan membuat perhitungan kepada penjajah agar tidak lagi menindas rakyat. Hal demikian juga, bagi para kiai, dianggap sebagai sebuah bentuk ikhtiar agar dapat menjalankan agama dengan baik. Tanpa keamanan yang stabil, tentu praktik ibadah akan sulit dilaksanakan.


Para kiai membentuk pasukan Hizbullah di bawah Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) atas seizin Jepang. Pasukan ini terdiri dari orang-orang Muslim dewasa. Mereka disiapkan dan dilatih militer secara khusus untuk melakukan perlawanan kepada sekutu. Bahkan, mereka dipersenjatai guna melakukan penyerangan terhadap penjajah yang mencoba merangsek untuk menguasai wilayah.


Kaum perempuan juga melakukan upaya perlawanan terhadap para penjajah dengan caranya masing-masing. Ada yang turun gelanggang seperti Laksamana Malahayati, seorang panglima tempur perempuan dari Aceh yang berhasil menaklukkan dua kapal Belanda bersama pasukan perempuan yang dipimpinnya bernama Inong Balee pada akhir abad 16. (Anton Setiawan, Malahayati, Laskamana Perempuan Pertama di Dunia, Indonesia.go.id, 2023)


Ada juga pasukan anak dan remaja yang turut memberikan kontribusi dalam upaya melawan penjajah itu. Adalah KH Abbas Abdul Jamil yang menjadi aktor intelektual dalam pelibatan bocah-bocah sebagai pasukan yang membantu gerak-gerik tentara pilihan dalam melakukan perlawanan.


Sesepuh Pondok Buntet Pesantren itu membentuk pasukan yang ia beri nama Asybal. Nama ini berasal dari bahasa Arab. Jika menilik Kamus Al-Munawwir, Asybal merupakan kata jamak (plural) dari syiblun yang berarti anak singa. Jadi, Asybal merupakan pasukan yang beranggotakan anak-anak singa. Maksudnya, anak-anak pemberani yang siap sedia melakukan perlawanan terhadap tekanan penjajah.


Ahmad Zaini Hasan, dalam Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Yogyakarta: LKiS, 2014), menyebut pasukan Asybal terdiri dari anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun. Mereka bergerak sebagai informan untuk memberi tahu situasi dan kondisi dalam suatu wilayah tertentu.

 

Mereka memang mendapat tugas khusus dari Kiai Abbas untuk menjadi mata-mata untuk mengintai gerak-gerik musuh. Tidak hanya itu, mereka juga mendapatkan mandat lain, yakni penghubung daerah pertahanan ke pos terdepan.


Tidak hanya Asybal, Pondok Buntet Pesantren juga membentuk pasukan Athfal. Istilah itu juga muncul dari bahasa Arab, yaitu bentuk jamak dari thiflun yang berarti anak kecil. Adalah KH Anas Abdul Jamil, adik Kiai Abbas, yang menjadi aktor pembentukan pasukan bocah-bocah itu. Mereka juga mendapatkan tugas yang tak jauh berbeda dengan Asybal.


Zaini menjelaskan bahwa dua pasukan anak dan remaja itu dilatih secara khusus oleh senior-seniornya yang menjadi pasukan Pembela Tanah Air (PETA), antara lain KH Abdulah Abbas dan KH Hasyim Anwar. Dua pemuda Buntet Pesantren itu merupakan di antara pentolan prajurit yang memimpin pasukan Hizbullah Cirebon di kemudian harinya. Sementara di antara yang menjadi pasukan Asybal adalah KH Nahduddin Abbas, adik Kiai Abdullah Abbas, yang saat itu masih belum genap 15 tahun usianya.


Jika remaja dan anak-anak dahulu telah berjuang hingga baris terdepan dengan menjadi penghubung, lalu perjuangan apa yang telah dilakukan remaja dan anak di bawah 17 tahun setelah 79 tahun Indonesia merdeka?