Fragmen

Mengenang Syekh KH Muhadjirin Amsar, Ulama Produktif dari Betawi (5)

Sabtu, 27 Juni 2020 | 02:30 WIB

Mengenang Syekh KH Muhadjirin Amsar, Ulama Produktif dari Betawi (5)

KH Muhadjirin Amsar bersama Syekh Yasin, guru-guru, dan sahabatnya di Madrasah Darul Ulum, Makkah, pada 1373 H atau sekira 1953-1954 M. Kiai Muhadjirin berjas hitam duduk di sisi kiri Syekh Yasin Al-Fadani.

Keluarga

Sosok Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar dalam keluarga merupakan sosok orang tua yang sangat bersahaja. Dalam kehidupan sehari-hari tidak tampak kemewahan yang terlihat baik dari penampilan fisik maupun hal-hal lain yang berada disekitarnya. Kebersahajaan KH Muhadjirin sesungguhnya telah muncul sejak masa mudanya saat ia masih menuntut ilmu di berbagai tempat di wilayah Jakarta, Banten, bahkan sekembalinya dari Mekkah.


Demikian pula halnya saat ia telah berkeluarga. Sikap bersahaja itu tetap melekat dalam diri Kiai Muhadjirin. Kisah perjalanan hidup yang berliku-liku bahkan pahit saat masih muda dan di awal perkawinannya telah menjadikan sosok Kiai Muhadjirin menjadi pribadi yang sangat bersahaja bahkan terkesan ”slebor” dalam berpakaian untuk ukuran seorang ulama yang telah diakui eksistensi tidak hanya di dalam negeri bahkan di luar negeri.


Jarang sekali Kiai Muhadjirin memakai pakaian-pakaian yang saat ini justru gemar dipertontonkan oleh kebanyakan masyarakat yang justru secara obyektif belum saatnya mereka menggunakannya. Namun dengan kesederhanaan dan kebersahajaan itulah menjadi ”daya tarik” serta kekhasan dari sosok Kiai Muhadjirin.


Dalam keluarga, Kiai Muhadjirin merupakan pribadi yang sangat demokratis terhadap anak-anaknya meski rambu-rambu kehidupan Islami tetap tegas diberlakukan. Demokratisasi ini dapat terlihat dari kebebasan yang diberikan terhadap anak-anaknya, khususnya anak laki-laki, dalam menentukan masa depannya masing-masing.


Tidak ada pemaksaan kehendak dalam menentukan pendidikan yang akan ditempuh setelah tingkat aliyah. Tidak ada satu pun anak laki-laki dari Kiai Muhadjirin yang menempuh pendidikan agama di perguruan tinggi agama seperti IAIN. Semuanya justru dibiarkan memilih berdasarkan minatnya, seperti sastra Inggris, ilmu politik, serta ilmu hukum.


Kebebasan yang diberikan Kiai Muhadjirin bukan kebebasan tanpa batas karena semua anak laki-laki diwajibkan untuk mengikuti pengajian di pondok pesantren yang berada langsung di bawah pengawasannya. Setiap selesai shalat maghrib dan shubuh semua anak laki-laki diperintahkan dan difasilitasi untuk mengikuti pengajian, baik ilmu tafsir, hadits, ushul fiqih, tauhid dan lain-nya.


Sikap berbeda diberikan Kiai Muhadjirin terhadap anak perempuannya, di mana seluruhnya diharuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Majma Al-Marhalah Al-’Ulya. Sikap yang terkesan ”kaku” dan ”memaksa” tersebut mungkin hanya dapat dirasakan manfaatnya oleh anak-anak perempuannya di masa sekarang setelah bertahun-tahun pertanyaan serta ketidakpuasan dalam diri masing-masing anak perempuan tersebut disimpan.


Politik

Gegap gempita politik di masa Orde Lama sesungguhnya tidak terlalu menarik perhatian dari Kiai Muhadjirin. Hal ini dapat terlihat dari keengganan mereka untuk masuk dalam salah satu organisasi sosial politik saat itu. Partai Masyumi dan partai NU pasca-pemilu 1955 tentunya adalah sarana atau bahkan kendaraan politik yang strategis bagi sebagian ulama pada saat itu.


Bekasi khususnya saat itu hampir dapat dikatakan menjadi basis utama dari Partai Masyumi. Bahkan mertua dari Kiai Muhadjirin, yakni KH Abdurrahman bin Shodri, merupakan salah satu petinggi partai Masyumi di Bekasi. Istri Kiai Muhadjirin pun, yakni Hj Hannah, adalah kader muda Partai Masyumi saat itu. Meskipun demikian tidak lantas Kiai Muhadjirin terbawa arus untuk bergabung dalam partai tersebut.


Keinginan untuk berada di jalur netral tanpa harus terkotak-kotak dalam kelompok tertentu lebih mendominasi alam pikiran Kiai Muhadjirin. Dalam keyakinannya yang sering terungkap baik langsung maupun tidak langsung dalam kesempatan pengajian, ia kerap menyatakan independensi ulama sangatlah penting dalam melihat sebuah masalah atau fenomena masyarakat.


Walaupun Kiai Muhadjirin pun mengakui adanya keuntungan-keuntungan materialistis-duniawi yang didapat oleh sebagian ulama yang berpolitik, semua itu tidak dapat mengubah idealismenya. Keengganannya berpolitik sampai akhir hayat Kiai Muhadjirin tidak hanya menjadi bahan diskursus bagi sebagian muridnya, namun juga menjadi nilai positif terhadap integritas keilmuannya.


Perbedaan pandangan agama yang sering dibawa ke ranah politik, seperti penentuan hari raya, sama sekali tidak berpengaruh kepada prinsip-prinsip Kiai Muhadjirin. Adalah menjadi pemandangan biasa mana kala Kiai Muhadjirin dan Pondok Pesantren Annida Al-Islamy berbeda dengan pemerintah berkaitan dengan penetapan puasa dan hari raya.


Netralitas yang dijalankan oleh Kiai Muhadjirin inilah yang menjadikan masyarakat memahami bahwa perbedaan tersebut adalah murni karena alasan keilmuan, bukan karena keterpaksaan karena telah terkooptasi dengan partai politik atau bahkan pemerintah.


Persatuan partai-partai berbasis Islam di era Orde Baru juga tidak mengubah pendirian Kiai Muhadjirin. Walaupun demikian, ia pun tidak melarang manakala murid-muridnya menjadi pendukung atau simpatisan salah satu partai politik. Keluasan pandangan dan pikiran Kiai Muhadjirin menjadi berkah tersendiri bagi murid-muridnya untuk ”berijtihad politik.”


Politisasi isu kedaerahan yang telah berlangsung lama sejak masa penjajahan juga pernah dialami oleh Kiai Muhadjirin. Adalah sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa Kiai adalah bukan orang Bekasi, walaupun pada masa itu wilayah Kampung Baru Cakung masih masuk wilayah Bekasi. Namun, karena secara geografis lebih dekat dengan Jakarta sehingga muncullah isu ”putra asli daerah” yang dimunculkan serta disebarluaskan oleh orang-orang tertentu, yang juga seprofesi dengan Kiai Muhadjirin, yakni sebagai muballigh.


Kebencian serta ketidaksukaan terhadap sosok Kiai Muhadjirin yang dibumbui dengan isu ”putra asli daerah” Bekasi secara membabi buta terus disebarkan sehingga yang melahirkan intimidasi bahkan teror yang dialami oleh Kiai Muhadjirin.


Intimidasi serta teror tersebut tidak hanya dalam arti gangguan biasa, seperti keserempet motor, hendak dicelakai senjata tajam oleh orang kurang waras di dalam masjid, bahkan termasuk gangguan yang tidak biasa, seperti santet (teluh) dan lainnya.


Menurut pengakuan istri  Kiai Muhadjirin Amsar, yakni Hj Hannah Abdurrahman, suaminya pernah jatuh sakit yang tidak biasa selama beberapa bulan. Akibatnya secara ekonomi keluarga Kiai Muhadjirin mengalami kesulitan. Sakit yang tidak biasa tersebut dapat terlihat dengan munculnya sejenis binatang serangga setiap malam di kamar tidurnya.


Meskipun secara pribadi Kiai Muhadjirin mengetahui orang yang telah mengirimkan ”binatang serangga”, namun keikhlasan hati lebih diutamakan. Dibiarkan orang itu terus dengan tindakan yang tidak terpuji tersebut sehingga suatu ketika akhirnya justru berakibat kepada orang yang tidak bertanggung jawab tersebut. Beberapa saat setelah kejadian tersebut, maka datanglah orang itu untuk meminta maaf kepada Kiai Muhadjirin atas apa yang telah diperbuatnya.


Murid-murid KH Muhadjirin Amsar

Murid-muridnya yang menjadi ulama Betawi terkemuka di antaranya adalah KH Maulana Kamal Yusuf, KH Mahfudz Asirun, KH Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani, KH Zuhri Yakub, KH A Fakhruddin, dan KH Syafi`i (Lajnah Falakiyah Cakung). Adapun karya Kiai Muhadjirin yang terkenal adalah Kitab Mishbāhuz Zhulām syarah Bulughul Maram yang disalin oleh KH Mahfudz Asirun. Kitab tersebut dipelajari di beberapa pesantren, halaqah, dan majelis taklim di Jakarta maupun di luar Jakarta. (selesai...)


Penulis: Rakhmad Zailani Kiki 

Editor:  Alhafiz Kurniawan