Fragmen

Muktamar Ke-10 NU (1): Muktamar di Solo Ditopang Tiga Cabang

Senin, 13 April 2020 | 12:15 WIB

Muktamar Ke-10 NU (1): Muktamar di Solo Ditopang Tiga Cabang

Dokumen hasil keputusan Muktamar ke-10 NU tahun 1935 di Solo. (Foto: Dok. istimewa)

85 tahun silam, atau tepatnya pada tanggal 13-19 April 1935 M/9-14 Muharram 1354 H, Kota Solo yang kala itu masih menjadi ibu kota Kerajaan Kasunanan Surakarta dan dipimpin Paku Buwana X, terpilih sebagai tuan rumah penyelenggara Congres atau Muktamar Nahdlatul Ulama ke-10.

Proses persiapan dan dinamika penyelenggaraan Muktamar kesepuluh ini tercatat lengkap dalam buku Poeteosan Congres Nahdlatoel ‘Oelama’ ka 10 di Solo Soerakarta Tanggal 13-19 April 1935 yang diterbitkan oleh Hoofd-Bestuur Nahdlatoel Oelama’ (HBNO).

Catatan mengenai kongres di Solo, dimulai dari pembahasan rumah (lokasi) penyelenggaraan muktamar, yakni di rumah Kanjeng Gusti Surya Sugiyantan Mangkunegaran. Rumah Kanjeng Gusti Surya Sugiyanta putra KPPA Mangkunegara V (Lahir 1887 M), terletak di Giyantan. Kemudian juga Masjid Agung Kasunanan dan Masjid Mangkunegaran yang digunakan untuk acara lokasi Openbaar (pengajian umum).

Meskipun penyelenggaraan muktamar dilaksanakan di Kota Solo, namun beberapa cabang terdekat seperti Klaten dan Boyolali juga ikut membantu cabang Solo dalam melayani para tamu serta kelancaran pelaksanaan muktamar.

Kemudian untuk memudahkan koordinasi, dibentuklah sebuah kepanitiaan (lajnah/komite) lokal kongres yang terdiri dari 3 cabang, yakni Solo, Boyolali, dan Klaten. Adapun sebagai voorzitter (ketua) panitia dipilihlah nama KH Masthur, dengan didampingi Kiai Habib (Mangkunegaran) sebagai wakil ketua, dan Mas Ngabehi Mohd. Soleh (Pengulu/Ketua Tanfidziyah NU Boyolali).

Masing-masing perwakilan dari ketiga cabang ini kemudian membagi tugas, baik waktu jadwal (shift) tugas maupun penyediaan fasilitas. Untuk pembagian waktu, selama hampir seminggu pelaksanaan muktamar, ada yang hanya mengambil tugas untuk satu hari saja, ada yang dua hingga tiga hari, serta adapula yang siap mengambil tugas pelayanan penuh selama muktamar berlangsung.

Bermacam keperluan yang disiapkan untuk para tamu, di antaranya bantal guling disediakan dari cabang Boyolali, Klaten dan Solo. Sedangkan untuk tikar, babut (karpet), dampar, dan lain-lainnya diusahakan oleh cabang Solo. Semuanya ini disediakan dengan gratis.

Syahdan, ada sebuah kisah menarik terkait tempat penginapan para peserta muktamar. Ketika itu, para tamu undangan, telah disediakan tempat penginapan. Pihak panitia sendiri sudah memesan beberapa tempat penginapan untuk menjadi tempat istirahat para peserta dari luar kota.

Meski demikian, banyak pula dari para kiai, yang justru lebih memilih untuk tinggal di rumah sahabat mereka, atau pondok pesantren yang ada di dekat lokasi muktamar. Salah satunya KH Bisri Syansuri pengasuh pesantren Denanyar Jombang, yang lebih memilih tinggal di pesantren yang diasuh KH Ahmad Siradj Panularan.

Singkat cerita, rupanya pondok pesantren tersebut belum memiliki nama, dan akhirnya, atas usulan dari Kiai Bisri, pesantren tersebut diberi nama Pesantren “Nahdlatul Ulama 001”. Pada perkembangannya, Pesantren “NU 001” tersebut lebih dikenal dengan nama Pesantren As-Siradj, dinisbatkan kepada nama sang pendiri pesantren, Kiai Ahmad Siradj.

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad