Fragmen

Para Perempuan NU yang Menjadi Anggota Konstituante RI

Kamis, 21 April 2022 | 16:00 WIB

Para Perempuan NU yang Menjadi Anggota Konstituante RI

Para Perempuan dari NU yang Menjadi Anggota Konstituante RI

Pada tahun 1955, Indonesia baru melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional yang pertama. Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pada bulan Desember mereka kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi, yang akan bekerja di sebuah institusi yang dikenal dengan nama Konstituante.


Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibukota Jawa Barat. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf undang-undang dasar berlangsung selama dua setengah tahun.


Penulis merangkum dari 610 individu (termasuk anggota pengganti dan anggota yang diangkat untuk mewakili golongan minoritas), terdapat 97 nama Konstituante dari Fraksi Nahdlatul Ulama (NU), yang kala itu masih menjadi partai politik. 97 orang dari Fraksi NU itu, 7 di antaranya merupakan anggota perempuan. Berikut pemaparan singkat profil tujuh Anggota Konstituante Perempuan dari NU, sebagaimana yang terdata dalam web Konstituante.


Nyai Solichah Saifuddin Zuhri


Lahir di Purworejo pada 1 Oktober 1924, istri dari KH Saifuddin Zuhri ini terpilih menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia. Tercatat mulai dari November 1956 hingga Juli 1959, ia termasuk dari beberapa kader Muslimat NU yang masuk menjadi anggota Konstituante.


Kisah yang menarik, bertepatan kala itu ia punya momongan yang masih kecil, yakni seorang putri berusia 10 tahun bernama Farida (kelak menjadi istri KH Salahuddin Wahid) dan adiknya yang masih bayi bernama Baihaqi.


Alhasil, meski berada di panggung kampanye, Nyai Solichah tetap membawa kedua anaknya menghadiri undangan rapat kampanye. Alhasil, Nyai Solichah berpidato sementara si kecil Baihaqi digendong sang kakak tanpa bantuan pengasuh bayi.


Semasa remaja, ia pernah mengenyam Pendidikan di Madrasah Al Islam Thanawijah Mualimat. Kemudian, karier sebelum menjadi anggota Konstituante, ia juga pernah Anggota DPRD Purworejo, Selain itu, ia banyak berkiprah di Muslimat NU, mulai sebagai Ketua PC Muslimat NU Purworejo, Komisaris Daerah Muslimat NU Kedu, Ketua PC Muslimat NU Semarang, Konsul Muslimat NU Jateng, hingga menjadi pengurus di Pimpinan Pusat.


Nyai Abidah Machfudz


Sama dengan Nyai Solichah, Nyai Abidah Machfudz juga berkiprah di Muslimat NU dan terpilih sebagai anggota Konstituante RI. Putri dari Nyai Khairiyah dan cucu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tersebut lahir di Jombang, tahun 1924.


Istri dari KH Machfudz Anwar tersebut, juga aktif di dunia pendidikan, dengan menjadi pengajar di MI Seblak, Diwek, Jombang. Perjuangannya di Muslimat NU dimulai dari menjadi Ketua Muslimat NU Kecamatan Diwek (1949-1951). Di masa ini pula, ia mendirikan Madrasah Mualimat Muslimat NU Diwek dan menjadi anggota DPRD Jombang. Kemudian pada tahun 1951, ia menjadi Ketua PC Muslimat NU Jombang.


Setelah Konstituante dibubarkan pada tahun 1959, kiprah Nyai Abidah terus berlanjut di pemerintahan ketika dipilih sebagai Hakim Agama di Pengadilan Agama Jombang selama dua periode berturut-turut. Periode pertama dari tahun 1960 hingga 1964, dan periode kedua dari tahun 1965 hingga 1968.


Nyai Siti Djamrud Daeng Tjaja


Berasal dari Morowali, Sulawesi Tengah, Nj Siti Djamrud merupakan anggota Konstituante dengan status atau tipe anggota pengganti, meski tidak dijelaskan lebih rinci ia menggantikan siapa.


Lahir pada tanggal 26 Juli 1931, ia mengawali kiprahnya dalam organisasi Perwani Cabang Kolanadale, sebagai Wakil Ketua (1949-1952). Kemudian, setelah itu ia didapuk menjadi Ketua PC Muslimat NU Makassar (1953). Hingga pada Pemilu 1955, ia terpilih menjadi Anggota Konstituante RI.


Nyai Aisjah Dachlan


Dikutip dari artikel NU Online berjudul Aisyah Dahlan, Pejuang NU dari Minang, perempuan kelahiran Padang Pariaman, Sumatera Barat, tahun 1921 (sumber lain menyebutkan 1920) ini sangat aktif dalam kegiatan dakwah dan menjadi dai perempuan terkemuka, baik melalui mimbar dakwah maupun tulisan.


Bila pembaca mengetik namanya di mesin pencarian, akan ditemukan beberapa buku karyanya, antara lain Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama dalam Rumah Tangga (Jamunu, 1969), Sedjarah Lahirnja Muslimaat NU di Indonesia (1955), dan lain sebagainya.


Pada tahun 1956, ia terpilih sebagai Ketua Umum PP Fatayat NU (1956-1959). Kemudian setelah dari Fatayat ia lebih banyak berkiprah di Muslimat NU. Dalam Kongres Muslimat NU tahun 1979 di Semarang, ia ditunjuk menjadi Ketua PP Muslimat NU yang membidangi Dakwah.


Pada tahun 1969-1971, Ny Aisjah Dachlan ikut mengkoordinasikan berdirinya Ikatan Muallimah dan Muballighah (penceramah dan guru agama wanita) dan tahun 1980 memprakarsai berdirinya Himpunan Dakwah Muslimat Indonesia, disingkat Nadwah (kini menjadi Hidmat). Ia juga banyak merintis berdirinya sekolah-sekolah di bawah naungan Muslimat NU.


Nyai Ratu Fatmah Chatib


Nyai Ratu Fatmah merupakan putra dari tokoh ulama dari Banten, KH Tubagus Achmad Chatib dan Ratu Hasanah. Ia lahir di saat kedua orang tuanya bersama kakeknya, Syekh Asnawi Caringin tengah berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 1921.


Perempuan yang pernah menjadi Ketua Cabang Muslimat NU Serang, Banten (1950-1954) ini, terpilih menjadi anggota Konstituante RI pada Pemilu 1955. Sebelumnya, pada tahun 1934-1938 ia pernah menjadi pengajar di sekolah Masyarikul Anwar Caringin, Labuan.


Nyai Nihajah Maksum


Tokoh Konstituante perempuan NU berikutnya berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Wanita kelahiran 10 Juli 1923 tersebut, mengawali kiprahnya dengan menjadi guru di Madrasah NU Cabang Surabaya (1938-1945). Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi guru agama di Sekolah Rakyat dan Madrasah Islamiah Nganjuk. Ia juga pernah mengajar di Madrasah Taswirul Afkar Surabaya (1949-1953).


Secara bersamaan ia pernah aktif di kepengurusan pusat Muslimat NU dan menjadi Ketua Umum Fatayat NU yang pertama (1950-1956) dan dikenal dengan nama Nihayah Bakri, merujuk pada nama ayahnya KH Bakri. Yang menarik, bila ia menjadi Ketua Fatayat NU yang pertama, sang kakak, KH Thohir Bakri merupakan Ketua pertama Ansoru Nahdlatil Oelama (kini dikenal dengan GP Ansor).


Di tahun 1959, ia kembali memimpin PP Fatayat NU hingga tahun 1962, kali ini lebih populer dengan nama Nihayah Maksum. Nama yang sama Ketika ia tercantum sebagai anggota Konstituante RI.


Nyai Adiani Kertodiredjo


Nama terakhir, kembali berasal dari Jawa Timur, tepatnya dari Bondowoso. Meski tercatat banyak berkiprah di Bondowoso, namun Nyai Adiani merupakan kelahiran dari Situbondo, 18 Desember 1908. Dari kesemua anggota Konstituante perempuan dari NU, ia mungkin yang paling sepuh.


Sejak tahun 1924, ia sudah memulai pekerjaan sebagai pegawai di kantor bagian pengairan Bondowoso. Kemudian menjadi klerk di kantor pajak (1926-1930) dan Kantor Prop Wakstaat Bondowoso (1930-1932).


Kiprahnya di Muslimat NU, dimulai pada tahun 1949, ia menjadi pimpinan PC Muslimat NU Bondowoso sekaligus Anggota DPRDS. Tahun 1952-196, ia sempat menjadi anggota Majelis Konsul (Wilayah) Muslimat NU di Surabaya dan pada tahun yang sama menjabat sebagai Komisaris Daerah Muslimat NU Besuki.


Demikianlah, profil singkat 7 wanita Anggota Konstituante RI dari NU. Kiprah mereka, bersama para generasi awal perempuan NU yang menjadi Anggota DPR RI, tentu menjadi inspirasi bagi para kader perempuan NU di masa itu juga berikutnya.


Terkait dengan perjalanan lembaga Konstituante sendiri seiring waktu, kerap terjadi perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) yang sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan pekerjaannya.


Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden ‘59 yang secara sepihak membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD ‘45 sebagai dasar negara Indonesia, dan dengan itu juga meningkatkan kekuatan eksekutif dan militer.


Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Muhammad Faizin