Fragmen

Pendidikan adalah Corong Perjuangan Para Kiai

Selasa, 13 Oktober 2020 | 13:30 WIB

Pendidikan adalah Corong Perjuangan Para Kiai

Laskar Hizbullah dalam sebuah maraton perjuangan. Laskar Hizbullah adalah pasukan santri terlatih gagasan KH Hasyim Asy'ari. Ada juga Laskar Sabilillah yang juga diisi pejuang santri. (Foto: dok. istimewa)

Perjuangan melawan kolonialisme tidak hanya dilakukan dengan mengangkat senjata, tetapi juga membangun dan memperkuat pengetahuan melalui pendidikan. Spirit pembebasan lahir pada diri manusia jika mempunyai ilmu dan wawasan memadai, tidak lagi terbelakang. Di sinilah pendidikan juga mempunyai fungsi membebaskan. Dalam hal ini pendidikan menumbuhkan spirit perjuangan membebaskan diri dari kungkungan penjajah.


Para ulama pesantren atau para kiai memahami betul akan keterbelakangan rakyat yang dimanfaatkan para penjajah sehingga mereka gencar melakukan pengajaran sebagai wadah untuk melakukan syiar ilmu secara luas. Hal ini juga sebagai upaya mewujudkan warisan ulama-ulama terdahulu, terutama sejak zaman Wali Songo yang juga kerap mendidik rakyat melalui padepokan maupun pesantren yang kala itu masih sederhana.

 

Baca juga: Saat Kiai-kiai Menangkal Para Pemberontak Negara

Baca juga: Saat KH Hasyim Asy’ari Berkata Petani Adalah Penolong Negeri


Pendidikan sebagai syiar ilmu dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan kultural pertama yang dilakukan oleh para kiai di pesantren. Karena peran kuatnya juga di tengah masyarakat, para kiai memberikan pemahaman terkait ilmu agama dan spirit nasionalisme. Agama memberikan pemahaman yang merdeka terkait kehidupan dan kemanusiaan, sedangkan nasionalisme menuntut rakyat untuk melepaskan diri dari kungkungan kaum penjajah.


Sejak awal, KH Hasyim Asy’ari seperti dicatat Muhammad Asad Syihab dalam Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia (terj. KH A Mustofa Bisri, 1994) mempunyai cita-cita agar di Indonesia terbangun masyarakat yang menerapkan ajaran Islam dengan baik dan benar.


Untuk tujuan mulia tersebut, KH Hasyim Asy’ari membangun pondok pesantren dan madrasah-madrasah. Ikhtiarnya di bidang pendidikan juga berkembang luas. Dari sini, Hadhratussyekh menurut Asad Syihab, berpikir untuk menyatukan potensi dan perjuangan ulama dalam satu wadah organisasi, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Termasuk membentuk laskar-laskar pejuang yang berisi para santri.


Asad Syihab juga mencatat, kolonial Belanda mulai khawatir terhadap kegiatan-kegiatan dan gerakan-gerakan kaum Muslim yang dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari itu. Belanda pun mulai mengganggu Hadhratussyekh dan mengawasi gerak-gerik ulama dengan pengawasan yang ketat, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan.

 

Baca juga: Strategi Amoral Kolonial Belanda di Sekitar Pabrik


Sebab itu, para ulama yang menjadi pengurus jam’iyah seringkali dihadapkan pada pemeriksaan, penggeledahan, dan gangguan. Bahkan beberapa di antara mereka mengalami penahanan dengan tuduhan-tuduhan melawan “pemerintahan yang sah” Belanda.


Tidak berhenti sampai di situ, kolonial Belanda juga menuduh para kiai mengobarkan kekacauan, menghasut ulama untuk mengadakan perlawanan, menyebarkan ajaran Islam yang fanatik dengan mengumpulkan para kiai dalam organisasi, dan tindakan-tindakan muslihat lainnya.


Pentingnya berjuang melalui jalur pendidikan juga disadari oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah sekian lama berjuang dalam wadah Syarikat Islam bersama tokoh-tokoh lain, Kiai Wahab merasakan bahwa Syarikat Islam lebih menyibukkan diri dengan urusan-urusan politik. Kiai Wahab merasa jalur politik banyak menghabiskan energi, penuh dengan intrik, dan konflik sehingga melupakan jalur strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menanamkan spirit cinta tanah air.


Lalu, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1916 di Surabaya bersama Mas Mansur. Martin van Brulnessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994), Nahdlatul Wathan adalah sekolah Islam yang memiliki corak berbeda dengan madrasah di pesantren-pesantren pada umumnya pada era itu. Bisa dibilang Nahdlatul Wathan yang ini merupakan sebuah lembaga pendidikan agamis yang bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara.

 

Baca juga: Sejarah Para Pemberontak Negara


Nahdlatul Wathan resmi mendapatkan Rechtspersoon (badan hukum) pada 1916 sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk menggembleng nasionalisme para pemuda. Nahdlatul Wathan digawangi oleh KH Abdul Kahar sebagai Direktur, KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan), dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)


Selain Nahdlatul Wathan, Kiai Wahab juga banyak mendirikan “organisasi” dengan nama-nama yang hampir mirip. Seperti Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) atau pada 1918 mendirikan koperasi pedagang (yang kebanyakan juga anggotanya adalah kiai) dengan nama Nahdlatul Tujjar.


Nahdlatul Wathan merupakan upaya Kiai Wahab dan kawan-kawan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan yang kuat di dada para pemuda melalui jalur pendidikan. Berangkat dari misi besar tersebut, Kiai Wahab menciptakan syair Ya Ahlal Wathan yang kini kita kenal dengan Ya Lal Wathan. Syair ini menjadi lagu wajib yang harus didengungkan sebelum memulai pelajaran di kelas, karena saat itu memang sudah diterapkan sistem klasikal dengan kurikulum 100 persen agama.

 

Baca juga: KH Nahrawi Abdussalam, Santri Betawi yang Disegani Ulama Timur Tengah (bagian 4)


Madrasah Nahdlatul Wathan juga berkembang pesat di setiap cabang NU. Di jawa Barat berpusat di Madrasah Mathla’ul Anwar Menes, Banten. Di Jawa Tengah berpusat di Nahdlatul Wathan di Jomblangan Kidul, Semarang. Sedangkan di Jawa Timur berpusat di Surabaya dengan cabang-cabangnya yang tersebar luas di Jombang, Gresik, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, dan kota-kota lainnya.


Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren.


Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan yang kita pimpin sehingga cita-cita luhur pendiri bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kuat dan tak pernah surut.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon