Fragmen

Saat KH Saifuddin Zuhri Menolak Pemberian Pangkat Militer

Selasa, 8 Januari 2019 | 10:15 WIB

Saat KH Saifuddin Zuhri Menolak Pemberian Pangkat Militer

KH Saifuddin Zuhri (Dok. Perpustakaan PBNU)

Membaca sejarah pergerakan nasional Indonesia secara umum, khususnya yang terkait perjuangan pesantren, santri, para kiai, dan Nahdlatul Ulama, KH Saifuddin Zuhri (1919-1986) merupakan sosok yang dapat menjadi rujukan otoritatif. Bukan hanya dari catatan-catatan apik dirinya soal perjalanan sejarah Indonesia dan pesantren, tetapi karena Kiai Saifuddin Zuhri juga ikut berjuang secara fisik.

Rekam sejarah pergerakan nasional dicatat dan ditulis dengan baik oleh Kiai Saifuddin Zuhri. Lintasan sejarah tersebut dapat dibaca dari karyanya Guruku Orang-orang dari Pesantren, buku memoar tebalnya berjudul Berangkat dari Pesantren, serta karya-karya lainnya. Dari historiografi atau tulisan sejarah Kiai Saifuddin Zuhri, sejarah tidak hanya berisi narasi-narasi pokok (core), tetapi juga catatan-catatan pinggiran yang penting diketahui sebagai faktor penentu terjadinya narasi core sejarah tersebut.

Pria kelahiran Sokaraja, Banyumas pada 1 Okrober 1919 itu merupakan sosok yang terbilang lengkap. Ia seorang ulama, perjuang kemerdekaan, wartawan, politikus, dan birokrat. Semua perannya itu ia lakukan demi bangsa dan negara. Di dalam tubuh NU, ia bersama KH Wahid Hasyim mengembangkan jaringan NU di berbagai daerah.

Dalam catatan Munawir Aziz (Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional, 2016), Kiai Saifuddin Zuhri sebagai pejuang kemerdekaan melawan kolonial pernah menjadi target operasi intelijen Belanda. Dia dianggap buron sejak 21 Desember 1948. Bersama anak dan istrinya yang sedang hamil tua, ia menyusuri tebing curam dan licin selama beberapa bulan dengan melewati lebih dari 22 desa sebagai tempat perlindungan dari kejaran tentara Belanda.

Perjuangan militer ia lakukan ketika mengomando Laskar Hizbullah (laskar militer santri) yang kerap berbarengan dengan pasukan pimpinan Jenderal Soedirman. Seperti para gurunya di pesantren yang tak kalah besarnya dalam perjuangan memerdekakan bangsa, Kiai Saifuddin Zuhri tidak mau terbuai dengan tawaran jabatan militer oleh pemerintah.

Dalam buku karyanya Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013), Kiai Saifuddin Zuhri pernah didatangi utusan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin untuk menawarkan jabatan militer. Dari utusan tersebut, Kiai Saifuddin Zuhri diberitahu bahwa dirinya telah diangkat menjadi opsir Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan pangkat Letnan Kolonel (Letkol). Namun, ia memilih untuk tidak menerima tawaran tersebut. Berikut pernyataannya:

“Suatu hari datang kepadaku utusan Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin. Kedatangannya memberitahukan kepadaku bahwa aku telah diangkat menjadi opsir TNI dengan pangkat letnan kolonel. Ia datang dengan membawa tanda pangkat sekalian bendera kecil yang lazim dipasang di mulut mobil. Aku pikir, ini suatu cara yang meninabobokan saja. Dan lagi, buat apa bendera kecil tanda kepangkatanku, padahal aku tidak mempunyai mobil. Siapa yang memikirkan mobil di zaman penuh perjuangan itu? Aku katakan kepada utusan itu bahwa kedatangannya aku hormati, tetapi aku tidak bisa menerima kepangkatanku sebagai letnan kolonel. Lebih baik, aku tetap di dalam Hizbullah, menyertai rakyat mempertahankan Republik yang amat kucintai ini, dari ancaman musuh. Kita jangan amat percaya kepada Belanda, dengan persetujuan Renville-nya. Itu Cuma politik melucuti kekuatan Republik saja. Tanda pangkat aku kembalikan. Tetapi ia menolak, biarlah di tanganku saja, katanya. Begitu dia pulang, tanda pangkat aku buang ke sungai. Pikirku, di zaman begini, siapa yang mementingkan pangkat? Perjuangan masih panjang dan situasi belum menentu.”

Kiai Saifuddin Zuhri merupakan satu dari ribuan santri dan kiai dari kalangan pesantren yang berjuang keras untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa memikirkan jabatan dan pangkat atau perkara dunia lainnya. Hal ini menunjukkan sikap wara’ dan tawadhu’ terhadap perkara duniawi atas perjuangan mewujudkan kemaslahatan orang banyak yang diajarkan oleh para gurunya di pesantren. (Fathoni)