Fragmen

Sejarah Agama dan Keyakinan di Indonesia

Senin, 29 Juni 2020 | 14:30 WIB

Sejarah Agama dan Keyakinan di Indonesia

Ada banyak agama asli Indonesia sebelum masuknya agama-agama dari luar. Ada Kaharingan sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Kalimantan. Agama ini dianut orang-orang Dayak. Sunda Wiwitan dan Buhun juga tumbuh di daerah berlatar budaya Sunda di sekitar Jawa Barat.

Saat ini Indonesia hanya mengakui enam agama. Di luar agama-agama itu, hanya dianggap aliran kepercayaan saja, termasuk agama lokal. Padahal pernah ada 245 agama lokal di Indonesia. Karena tidak diakuinya agama lokal, muncul anggapan bahwa orang Indonesia tidak beragama sebelum abad pertama.


Menurut Kuntjaraningrat, dalam bukunya Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan (1974), istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut religi (agama).


Menurut Parsudi Suparlan dalam buku Agama Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (1988), agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.


Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.


Mengikuti Parsudi Suparlan, jika agama itu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, maka tak hanya keenam agama yang diakui pemerintah yang layak disebut agama. Aliran kepercayaan pun layak disebut agama.


Agama Konghucu tak jauh beda nasibnya dengan agama lokal, tak diakui oleh orde baru. Orang-orang Tionghoa yang menganut Konghucu pun tak berdaya. Tak heran banyak orang Tionghoa beragama Kristen, Katolik atau Budha di masa orde baru. Mereka yang menganut Konghucu seharusnya beribadah di Klenteng. Namun, karena penganutnya menulis Budha dalam kolom agama di KTP, Klentengnya pun beralih fungsi seperti Vihara.


Setelah Konghucu diakui lagi sebagai agama, berdasar Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000, di masa masa kepresidenan KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur, Klenteng pun diramaikan lagi oleh penganut Konghucu. Namun, Klenteng setelah orde baru tak hanya menampung Konghucu saja, tapi juga penganut kepercayaan Laotze dan sebagian pemeluk agama Budha. Klenteng bisa digunakan untuk ibadah tiga agama.


Hindu diyakini masuk pada abad pertama Masehi, tak lama disusul Budha. Islam sendiri masuk kira-kira seabad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di abad ke-7 sudah ada kerajaan Islam Perlak di Aceh. Lalu Agama Kristen masuk bersama orang-orang Eropa ke Indonesia. Konghucu tentu masuk bersama pada pedagang dan imigran dari daratan Tiongkok ke Indonesia.


Sebelum kedatangan agama-agama dari luar, dalam buku sejarah di sekolah, hanya disebutkan aliran kepercayaan seperti Animisme dan Dinamisme saja. Buku pelajaran sejarah yang beredar di sekolah tak menyebut dengan jelas agama-agama asli Indonesia.


Padahal, ada banyak agama asli Indonesia sebelum masuknya agama-agama dari luar. Ada Kaharingan sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Kalimantan. Agama ini dianut orang-orang Dayak. Sunda Wiwitan dan Buhun juga tumbuh di daerah berlatar budaya Sunda di sekitar Jawa Barat.


Di daerah Banten, orang-orang Badui sebelum Islam sampai, sudah berkembang Urang Kanekes. Di daerah berbahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur setidaknya ada beberapa kepercayaan seperti Kejawen, Purwoduksino, Budi Luhur. Di zaman kolonial, setelah masuknya Islam, muncul agama Samin.


Di Sulawesi Selatan, ada agama Aluk Tadolo yang dianut orang-orang Tana Toraja sebelum Kristen berkambang di sana. Selain itu ada juga agama Tollatang di Sulawesi Selatan sebelum Islam masuk. Sebelum Kristen masuk, agama Tonaas Walian dianut orang-orang Minahasa di Sulawesi Utara.


Agama Wetu Telu yang mirip Islam berkembang di Lombok. Sebelum Kristen berkembang, agama Naurus jadi pegangan orang-orang di Pulau Seram, Maluku. Agama Marapu juga berkembang di Sumba sebelum Kristen dan Islam berjaya di Pulau Sumba. Marapu pun tak hilang dari ingatan. Nama Marapu dijadikan nama Band Reagea di Yogya.


Di Sumatera Utara, selain Islam berkembang di selatan Danau Toba dan Kristen di Utara Danau Toba, berkembang di sana agama Mulajadi Nabolon dan Parmalim dianut orang-orang Batak. Tak banyak catatan soal agama-agama lokal yang mulai lokal yang justru menuju kepunahan setelah Republik Indonesia berdiri.


Saat ini, jumlah pengikut agama lokal bisa jadi berubah. Agama-agama lokal yang dianut penduduk di daerah yang adat istiadatnya kuat dan kadang terpencil ini, bisa jadi tergerus oleh agama-agama yang diakui pemerintah. Belum lagi agama lain macam Baha'i atau Yahudi juga masuk ke Indonesia.


Sifat agama lokal biasanya hanya dianut oleh komunitas tertentu dan turun-temurun. Tak masif pula dalam berdakwah. Perlahan agama lokal ini punah. Dari semua unsur kebudayaan Indonesia asli, hanya sistem kepercayaan atau agama yang lebih cepat hilang ketimbang yang lain.


Penganut aliran kepercayaan sudah lama diperlakukan bak anak tiri di Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh ke belakang, mereka sebetulnya telah hadir sebelum agama-agama yang kini resmi diakui di Indonesia datang ke Nusantara.


Uraian cukup panjang disertai sejumlah contoh ditulis Rachmat Subagya dalam Agama Asli Indonesia (1981). Menurutnya, meski tidak mempunyai sistem teologi lengkap dengan pemikiran reflektif tentang ketuhanan, masyarakat terdahulu telah mengakui suatu kekuatan di luar dirinya.


Sikap mereka terhadap ‘Yang-Ilahi’ tumbuh dari pengalaman hidup dengan hari-hari gembira dan hari-hari sedih. Dalam lubuk hatinya, manusia merasa adanya suatu Zat Gaib yang menaungi hal ihwal insani.


Kepada “yang menaungi hal ihwal insani” itulah mereka memohon perlindungan terhadap bahaya yang mengancam, baik dari musuh, bencana alam, penyakit, maupun hantu atau manusia bertuah. Rasa ketuhanan itu terpendam dalam batin manusia dan sukar diungkapkan, karena waktu itu mereka belum mengenal konsep pewahyuan Tuhan.


Dalam konteks Nusantara, para leluhur di sejumlah etnik telah mempraktikkan pelbagai ritual keagamaan sebelum Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen datang ke tanah mereka. Ritual-ritual rutin dijalankan, sebelum akhirnya terdesak oleh kedatangan agama-agama baru tersebut.


Agama asli (Nusantara) sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi. Dia terancam setiap kali didampingi oleh agama-agama yang datang dari luar. Agama-agama (baru) itu tidak saja unggul dalam perlengkapan doktriner, tetapi pula dalam bidang kenegaraan dan lambat laun berfungsi sebagai ideologi negara di bawah kekuasaan sentral yang sakral.


Meskipun masyarakat yang memeluk agama asli itu awalnya masih mayoritas, mereka tetap dianggap sebagai golongan luar oleh para penganut agama “asing” yang akhirnya menjelma kekuatan politik baik pada masa Hindu maupun era Islam.

 

Krisis agama asli kian memuncak pada zaman penjajahan. Kaum kolonial memasukkan orang-orang penganut agama asli ke dalam kategori kafir (heidenen) sebagai a residual factor (barang yang tersisa).


Hal ini terjadi karena pemerintah kolonial tidak bersentuhan langsung dengan rakyat jelata yang mayoritas beragama asli, melainkan hanya dengan penguasa-penguasa feodal setempat, yang telah memeluk tradisi, Hindu, Islam, dan Kristen. Peraturan-peraturan kolonial berpedoman pada agama lapisan atas itu.


Peraturan tahun 1895 Nomor 198 misalnya, mewajibkan semua perkawinan orang yang bukan Kristen dan bukan Hindu dilakukan menurut hukum Islam demi penyederhanaan administrasi perkawinan. Maka massa rakyat masuk statistik di bawah rubrik Islam dan menyebut diri selam dan seselaman.


Pada 1869, saat Terusan Suez dibuka dan orang-orang Islam semakin leluasa untuk melaksanakan ibadah Haji, para penganut agama asli mulai berkonfrontasi dengan kaum santri yang berusaha menyingkirkan takhayul, adat Kejawen, adat kehinduan, dan pra-Islam dari ritual Islam yang dipraktikkan warga setempat.


Karena tekanan semakin besar sebagian penganut agama asli kemudian meregenerasi diri dan menjelma ke dalam pelbagai aliran yang kemudian kini dikenal sebagai aliran atau penghayat kepercayaan, yang dibagi atas kebatinan, kerohanian, dan kejiwaan.


Krisis yang melanda agama asli membawa banyak orang kepada keputusan mengganti kepercayaan kuno mereka dengan suatu pandangan hidup baru. Akan tetapi banyak orang lain berusaha menyesuaikan keyakinan mereka mengenai ketuhanan, manusia, dan alam dari tempo dulu, dengan tuntutan zaman sekarang.


Dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018), Denys Lombard mencatat kebanyakan aliran kepercayaan dipimpin oleh seorang guru karismatik dan dinaungi oleh kenyamanan suatu komunitas—karena sehari-hari mereka kerap mengalami tekanan dari tatanan sosial yang ketat.


“Gejala sosial dari kebatinan agaknya berakar panjang, namun baru mulai dipantau dengan baik sejak akhir abad yang lalu,” tulis Lombard. Perkiraannya ini sejalan dengan paparan Rachmat Subagya dalam Agama Asli Indonesia (1981). Lombard menambahkan, sehari-harinya mereka cenderung dilabeli sebagai kelompok ilmu klenik dan diawasi oleh aparat negara maupun wakil-wakil agama yang diakui negara.


Mengutip dari Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia (1985) karya Kamil Kartapradja, Lombard menyebutkan pada awal tahun 1900-an terdapat sekitar dua puluh aliran kebatinan di Nusantara. Sebagian besar didirikan pada zaman antara Perang Dunia I dan II.


Ia menyebutkan dua contoh. Pertama, di daerah Cirebon terdapat kelompok Ngelmu Sejati atau Ngelmu Hakekat yang lahir kira-kira pada tahun 1920. Kelompok ini dipimpin oleh Haji Burhan, seorang santri asal Banten, dan disebarluaskan sampai Indramayu, Jawa Barat.


Lombard menambahkan, beberapa tahun kemudian salah seorang anak pangeran Cirebon yang bernama Madrais, menyebarkan Ngelmu Cirebon—sebagian menyebutnya Agama Djawa Sunda (ADS)—dengan menarik sejumlah pengikut Haji Burhan. Ia menetap di desa kecil Cigugur, Kuningan, dan menerima penghormatan dari penganut yang datang dari seluruh Tanah Pasundan.


Dalam keterangan itu, karena Madrais disebutkan mulai menyebarkan Ngelmu Cirebon setelah gerakan Haji Burhan, artinya ADS lahir setelah 1920. Namun, dalam pelbagai catatan lain, ADS justru lahir sejak akhir 1800-an.


Di luar perbedaan pendapat itu, yang pasti ADS sempat dibubarkan oleh Orde Baru pada 21 September 1964 sebagaimana ditulis oleh Suwarno Imam S. dalam Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa (2005).


Dalam kronik singkat Agama Asli Indonesia (1981), Rachmat Subagya mencatat DPR mengadakan diskusi bertema “Agama-agama Bikinan” pada 1952. Dalam diskusi itu, Departemen Agama mengusulkan pelarangan terhadap semua agama yang tidak memenuhi definisi yang telah ditentukan negara, misalnya agama yang tidak memiliki nabi, kitab suci, dan tidak tersebar di luar Indonesia. Usulan ini ditarik kembali. Namun, sampai 1971, sebanyak 167 aliran kebatinan telah dilarang oleh Jaksa Agung.


Sampai MK mengizinkan pengisian kolom agama dalam KTP bagi para penganut aliran kepercayaan pun, persoalan diskriminasi terhadap golongan ini belum benar-benar berakhir. Pada 1945, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) didirikan. Organisasi yang bergerak secara politik dan sosial ini menjadi wadah mistik kaum abangan.


Salah satu hasil penelitian Clifford Geertz yang terbuhul dalam Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (2014) mencatat, menurut para pemeluknya, Permai didasarkan pada “ilmu asli murni”, yakni bersandar pada kepercayaan Jawa “asli” sebelum dipengaruhi tambahan-tambahan dari Hindu dan Islam.


Menurut salah seorang pemeluk Permai, setiap golongan atau kelompok punya ilmu masing-masing. Ia menyebutkan bahwa orang Barat, orang Islam, dan orang Jawa punya ilmunya sendiri-sendiri.


“Sulitnya, orang Indonesia selalu mencoba menjadi orang Hindu, Arab, atau Belanda daripada menjadi orang Indonesia. Sekarang setelah kita merdeka, kita harus menggali filsafat nenek moyang kita dan membuang jauh-jauh semua ilmu asing itu,” ungkap si penganut sebagaimana ditulis Geertz.


Para penganut kepercayaan adalah gerakan yang tengah menghadapi transisi zaman, tapi tidak melarikan diri ke masa lampau, alih-alih menjawab tantangan sekularisme, materialisme, dan rasionalisme dengan menggali tradisi-tradisi leluhur. Gerakan ini adalah protes melawan kekosongan hidup dan kepalsuan jiwa.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi