Fragmen

Sejarah Munas NU dan Keputusan-keputusan Pentingnya

Selasa, 28 September 2021 | 06:00 WIB

Sejarah Munas NU dan Keputusan-keputusan Pentingnya

Ilustrasi: KH Abdul Wahab Chasbullah dalam sebuah forum NU. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2021 berhasil memutuskan berbagai problematika keagamaan di tengah masyarakat, mulai dari hukum daging berbasis sel, hukum gelatin, moderasi NU dalam politik, metode istinbath maqashidi, pajak karbon dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan, dan RUU Larangan Minuman Beralkohol. Keputusan ini dihasilkan berdasarkan musyawarah para kiai perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) di Hotel Grand Sahid Jaya, DKI Jakarta , 17-18 Safar 1443 H / 25-26 September 2021 M.


Perlu diketahui, bahwa Munas Alim Ulama NU berdasarkan ART NU Pasal 74 merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah muktamar yang dipimpin dan diselenggarakan oleh PBNU. Munas Alim Ulama ini membicarakan masalah-masalah keagamaan yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa. Setidaknya, kegiatan ini dilakukan dua kali selama masa jabatan PBNU.


Munas Kaliurang 1981

Munas Alim Ulama NU pertama kali diselenggarakan pada tahun 1981, tepatnya 30 Syawal 1401-3 Dzulqadah 1401 H / 30 Agustus – 2 September 1981 M di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Keputusan penting yang dihasilkan dari Munas tersebut adalah mengukuhkan KH Ali Maksum sebagai Rais Aam PBNU menggantikan KH Bisri Syansuri yang wafat pada tahun 1980.


Pada mulanya, sebagaimana ditulis H Abdul Basit Adnan (Kemelut antara Kyai dan Politisi, 1982), terdapat dua pandangan terhadap persoalan pengukuhan rais aam pascawafatnya Kiai Bisri. Pendapat pertama berpegang pada hasil keputusan Muktamar NU di Semarang Tahun 1979 yang telah memilih rais aam, ketua umum, dan seluruh jajarannya. Karena rais aam wafat, peserta munas ini tinggal mengesahkan sebagaimana kesepakatan empat fungsionaris yang menyetujui wakil Rais Aam KH Anwar Musaddad diangkat menjadi Rais Aam.


Sementara itu, pendapat kedua menolak karena para formatur tidak mempunyai wewenang mengangkat rais aam mengingat posisi tersebut merupakan hasil pilihan muktamar. Karenanya, kelompok kedua ini menghendaki adanya pemilihan baru.


Pada akhirnya, peserta Munas Alim Ulama NU memilih KH Ali Maksum sebagai rais aam PBNU meneruskan tongkat estafet Kiai Bisri.


Namun, Munas Alim Ulama NU pertama itu tidak saja membahas persoalan pergantian rais aam PBNU, tetapi juga berbagai persoalan keagamaan, antara lain bayi tabung, cangkok mata, bank mata, cangkok ginjal dan jantung. Selain itu, bahasan soal zakat dan hubungannya dengan amil zakat; zakat untuk masjid, pondok, dan madrasah; zakat tanaman tebu, cengkeh, dan sesamanya; dan zakat perhotelan dan pengangkutan.


Hal lain yang dibahas berkaitan dengan peranan uang emas/perak diganti dengan uang kertas, cek, obligasi, saham perusahaan, dan macam-macam surat berharga; memulai ihram dari Jeddah, dan hukum pemotongan hewan dengan mesin.


Munas Situbondo 1983

Munas Alim Ulama NU berikutnya digelar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, pada 13-16 Rabiul Awal 1404 H / 18-21 Desember 1983 M. Munas yang diketuai oleh Katib Aam saat itu, KH Abdurrahman Wahid atau yang dikenal Gus Dur, dalam catatan Mitsuo Nakamura, ada tiga keputusan yang paling penting, yakni pemulihan khittah NU 1926, deklarasi hubungan Pancasila dan Islam, serta rekomendasi larangan perangkapan jabatan pengurus NU dengan jabatan pengurus organisasi politik. (Krisis Kepemimpinan NU dan Pencarian Identitas Awal 80-an: Dari Muktamar Semarang 1979 hingga Muktamar Situbondo 1984 dalam Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama - Negara, Yogyakarta: LKiS, 1997).


Sementara itu, KH Abdul Muchith Muzadi menyebut ada dua keputusan penting yang ditetapkan dalam Munas Alim Ulama NU Tahun 1983 tersebut. (NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran: Refleksi 65 Tahun Ikut NU, Surabaya: Khalista, 2007). Pertama, penjernihan kembali pandangan dan sikap NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dan Rancangan Mukadimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali kepada khittah NU yang dituangkan dalam pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khittah NU 1926


Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, Munas Alim Ulama NU Tahun 1983 ini juga membahas perihal berbagai fenomena keagamaan di tengah masyarakat di masanya, yakni penetapan awal Ramadhan dan Syawal dengan menggunakan dasar hisab; kriteria al-kutub al-mu’tabarah; memukul hewan untuk memudahkan penyembelihan; fakir miskin menjual daging atau kulit kurban; tugas dokter terhadap pasien; dan adopsi anak.


Munas Cilacap 1987

Munas Alim Ulama NU berikutnya dilaksanakan di Pondok Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah pada 23-26 Rabiul Awal 1408 H / 15-18 November 1987 M. Munas ini memutuskan berbagai persoalan keagamaan seperti melakukan wukuf yang bertentangan dengan hasil hisabnya; dispensasi bagi orang yang selalu bepergian; dan dasar penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.


Selain itu, para kiai pada Munas tersebut juga membahas perihal zakat peternakan bandeng; zakat perkebunan tebu; zakat usaha perhotelan; zakat hasil pertanian yang menggunakan pupu; dan koperasi simpan pinjam.


Munas Lampung 1992

Munas Alim Ulama NU keempat dilaksanakan di Bandar Lampung, 16-20 Rajab 1412 H / 21-25 Januari 1992 M. Disebutkan dalam Ensiklopedia NU, Munas di Lampung ini melahirkan sistem pengambilan keputusan hukum Islam di lingkungan NU yang memberikan ruang kepada pola manhaji (metodologis). Sebelumnya, keputusan bahtsul masail di lingkungan NU hanya bersifat qauli dari ulama mazhab Syafi’i saja.


Munas Lombok 1997

Munas Alim Ulama NU berikutnya digelar di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada 16-20 Rajab 1418 H / 17-20 November 1997 M. Munas ini memutuskan persoalan penyelenggaraan shalat Jumat dua angkatan; penyelenggaraan shalat Jumat tanpa mustauthin dan muqimin; pemindahan komplek makam; nikah mut’ah; jual beli piutang; dan jual beli barang yang berasal dari berutang kepada pemberi utang.


Hal lain yang dibahas adalah memanfaatkan tanah jaminan, selama yang berutang belum melunasi; mencetak dan menerbitkan karya tulis orang lain; pernikahan pengidap HIV/AIDS; penggunaan insulin bagi penderita kencing manis; dan kloning gen pada tanaman, hewan, dan manusia.


Para kiai juga membahas persoalan demonstrasi dan unjuk rasa; serta pembebasan tanah rakyat dengan harga yang tidak memadai.


Munas Jakarta 2002

Munas Alim Ulama NU pertama di era kepemimpinan KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi digelar di Asrama Haji Pondok Gede, DKI Jakarta, 14-17 Rabiul Akhir 1423 H / 25-28 Juli 2002 M. Munas ini membahas persoalan mabit Mina di Muzdalifah; badal haji bagi yang meninggal sebelum wukuf; zakat profesi; wakaf dengan uang kontan; dan penyakit antraks.


Munas Surabaya dan Jakarta 2006

Munas Alim Ulama NU kedua di masa kepemimpinan KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi dilaksanakan di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, pada 2-5 Rajab 1427 H  / 27-30 Juli 2006 M. Di munas ini, para kiai mendiskusikan persoalan meresmikan tempat ibadah agama lain, daur ulang air mutanajis; pihak asuransi menanggung pembayaran sisa kredit rumah; masa tangguh atas seorang yang hilang; dan asas pembuktian terbalik.


Hal lain yang dibahas adalah kuis berhadiah, sumpah dengan terjemahan kalimah qosam, rekonstruksi wajah, acara infotainmen yang mengungkapkan kejelekan seseorang; dan perdagangan manusia. Pembahasan ini dilanjutkan dan diputuskan di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta pada 21-22 Rajab 1427 H / 16 Agustus 2006 M.


Munas Cirebon 2012

Sementara itu, Munas Alim Ulama NU di awal masa kepemimpinan KH Sahal Mahfudz dan KH Said Aqil Siroj dilaksanakan di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, pada 29 Syawwal - 1 Dzulqadah 1433 H / 15-17 September 2012 M. Dalam Munas ini, para kiai menjawab tiga persoalan maudhu’iyah (tematik), yakni Negara Pancasila dalam perspektif Islam, Pemilukada dalam perspektif Islam, dan Pajak dalam perspektif Islam.


Dalam komisi Waqi’iyah (aktual), para kiai menjawab pengelolaan kekayaan negara, pembayaran pajak, kesejahteraan rakyat, korupsi dan hukum mati, risywah politik, calon bermasalah, dan dana talangan haji.


Sementara dalam komisi qonuniyah (perundang-undangan), para kiai membahas UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, RUU tentang Pangan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.


Munas Lombok 2017

Setelah 20 tahun penyelenggaraan Munas Alim Ulama NU di tahun 1997, kegiatan yang sama digelar kembali di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 4-6 Rabiul Awal 1439 H / 23-25 November 2017 M. Komisi Waqi’iyah membahas frekuensi publik, investasi dana haji, izin usaha berpotensi mafsadah, dan lempar tiga jumrah malam hari (mendahului waktunya).


Sementara itu, bidang maudhu’iyah membahas persoalan konsep fiqih penyandang disabilitas, distribusi lahan, ujaran kebencian dalam berdakwah, konsep amil zakat dalam negara modern, dan prosedur taqrir jama’i dan ilhaqul masail binadhairiha di lingkungan NU.


Adapun pembahasan qanuniyah mengenai RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren; Revisi UU Terorisme; Tata Regulasi Penggunaan Frekuensi; RUU Komunikasi Publik;n Telaah RUU KUHP; RUU Etika Penyelenggara Negara; dan distribusi lahan untuk kesejahteraan rakyat.


Munas Banjar 2019

Di masa kepemimpinan KH Miftachul Akhyar dan KH Said Aqil Siroj, Munas Alim Ulama dilaksanakan di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 22-24 Jumadil Akhir 1440 H / 27 Februari – 1 Maret 2019 M. Munas ini membahas Bahaya Sampah Plastik, Perusahaan AMDK yang Menyebabkan Sumur Warga Kering, Masalah Niaga Perkapalan, Bisnis Money Game, dan Legalitas Syariat Bagi Peran Pemerintah di bidang waqi’iyah.


Adapun Komisi Bahtsul Masail Maudlu’iyyah membahas Negara, Kewarganegaraan, dan Hukum Negara; dan Konsep Islam Nusantara. Sementara bidang Qanuniyah membahas RUU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad