Internasional

5 Bulan Agresi Brutal Israel, 31.000 Warga Palestina Meninggal 76.000 Terluka

Kamis, 7 Maret 2024 | 21:32 WIB

5 Bulan Agresi Brutal Israel, 31.000 Warga Palestina Meninggal 76.000 Terluka

Seorang anak Palestina di tengah puing-puing (Foto: BBC)

Jakarta, NU Online
Israel terus melancarkan serangan brutal ke Jalur Gaza, Palestina dan Tepi Barat sejak perang yang meletus pada 7 Oktober 2023 lalu. Agresi Israel yang memasuki bulan kelima pada Kamis (7/3/2024) telah mengakibatkan 31.000 warga Palestina meninggal dan 76.000 terluka.


Menurut laporan Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) mencatat bahwa 30.631 korban jiwa berada di Jalur Gaza, sementara 422 korban jiwa terdapat di Tepi Barat. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak yang tak berdaya.


Detail mengenai korban meninggal dunia meliputi 8.900 perempuan, 13.430 anak-anak. Selain itu, ratusan tenaga profesional tak luput menjadi korban, yaitu 364 tenaga kesehatan, 246 tenaga pendidik, dan 132 jurnalis.


Sebanyak 76.693 warga Palestina mengalami luka-luka imbas bombardir Israel selama lima bulan terakhir. Sementara itu, 7.800 orang di antaranya juga dilaporkan hilang. Situasi ini berdampak luas dan tragis yang diakibatkan oleh konflik berkelanjutan di wilayah tersebut.


Menyoroti hal itu, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson menyatakan bahwa keberlangsungan kehidupan dan kesehatan anak-anak di Gaza harus dilindungi. Ia menyebut pihaknya telah melakukan negosiasi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Israel dan beberapa negara anggota Uni Eropa terkait peningkatan akses pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.


"Kehidupan dan kesehatan anak-anak di Gaza harus dilindungi. Swedia telah memulai pertemuan dengan Kementerian Luar Negeri Israel, beberapa negara anggota Uni Eropa dan mitra lainnya untuk menyampaikan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan akses kemanusiaan ke Gaza," kata Kristersson melalui akun media sosial X-nya, Rabu (7/3/2024).


Sementara itu, ActionAid International melaporkan perempuan di Jalur Gaza harus melahirkan bayi lahir mati karena meningkatnya risiko kelaparan dan gagalnya operasi kemanusiaan. Sistem kemanusiaan menghadapi kehancuran total di tengah ancaman serangan Rafah, dengan seperempat penduduk Gaza dilanda kelaparan akut dan lebih dari selusin anak meninggal karena kekurangan gizi di bagian utara wilayah tersebut.


Direktur Rumah Sakit Al-Awda Dokter Mohammed Salha mengatakan Al-Awda merupakan satu-satunya rumah sakit dengan layanan bersalin di Gaza utara saat ini. Rumah sakit itu mendapat pasokan bahan bakar dari WHO 2 hari lalu yang cukup untuk bertahan selama dua minggu.


"Banyak kasus anak-anak yang meninggal karena kekurangan gizi tercatat di rumah sakit pemerintah," kata dia dilansir dari laman ActionAid.


"Kami adalah rumah sakit yang khusus menangani layanan wanita dan persalinan. Banyak operasi yang dilakukan, seperti operasi caesar untuk mengeluarkan janin, yang meninggal karena kekurangan gizi pada perempuan. Lebih dari 95 % wanita yang datang ke rumah sakit dan menjalani pemeriksaan kesehatan yang diperlukan menderita anemia," papar dia.


Dalam laporannya, ActionAid menyatakan distribusi bantuan di Gaza mendapat serangan selama seminggu terakhir, serta memakan korban jiwa dan semakin membahayakan operasi bantuan. 


Sebagai akibat dari meningkatnya serangan terhadap paramedis di Gaza, Bulan Sabit Merah Palestina mengumumkan pekan lalu bahwa mereka menangguhkan misi medisnya di seluruh Jalur Gaza. 


Selain itu, UNRWA, lembaga bantuan terbesar di Gaza, menghadapi masa depan yang tidak pasti setelah anggarannya dipangkas drastis karena negara-negara donor telah menarik bantuan keuangan mereka.


Ketika negara-negara Barat meningkatkan jumlah bantuan yang diberikan ke Gaza, ActionAid mengutip Amjad Al-Shawa dari Jaringan LSM Palestina di Gaza, yang menjelaskan mengapa bantuan tersebut tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Gaza.


Penjelasannya muncul ketika konvoi bantuan yang terdiri dari 14 truk ditolak pasukan Israel di Gaza utara, upaya pengiriman bantuan pertama dalam 2 minggu oleh World Food Programme (WFP).


"Airdrop (bantuan kemanusiaan) tidak cukup dalam kondisi seperti ini; perlunya bantuan transportasi darat. Setiap hari kami sangat membutuhkan 4.000 truk untuk memenuhi kebutuhan dasar orang-orang ini," ujar Amjad Al-Shawa.